Laporan Pendahuluan Hirschsprung Mahasiswa Keperawatan Terbaru 2021 - BlogMahasiswa Keperawatan

Laporan Pendahuluan Hirschsprung Mahasiswa Keperawatan Terbaru 2021


Laporan Pendahuluan  Hirschsprung Mahasiswa Keperawatan 
 Latar Belakang
Penyakit Hirschsprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan gangguan pergerakan usus yang dimulai dari spingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Penyakit Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul pada semua usia akan tetapi yang paling sering pada neonatus.
Penyakit Hirschsprung juga dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital dimana tidak terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di kolon, keadaan abnormal tersebutlah yang dapat menimbulkan tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara spontan, spingter rektum tidak dapat berelaksasi, tidak mampu mencegah keluarnya feses secara spontan, kemudian dapat menyebabkan isi usus terdorong ke bagian segmen yang tidak adalion dan akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat menyebabkan dilatasi usus proksimal.
Pasien dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863. Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus defisiensi ganglion. Penyakit hisprung terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkay kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Insidens keseluruhan dari penyakit Hirschsprung 1: 5000 kelahiran hidup, laki-laki lebih banyak diserang dibandingkan perempuan ( 4: 1 ). Biasanya, penyakit Hirschsprung terjadi pada bayi aterm dan jarang pada bayi prematur. Penyakit ini mungkin disertai dengan cacat bawaan dan termasuk sindrom down, sindrom waardenburg serta kelainan kardiovaskuler. Selain pada anak, penyakit ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya kegagalan mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, muntah berwarna hijau dan konstipasi faktor penyebab penyakit Hirschsprung diduga dapat terjadi karena faktor genetik dan faktor lingkungan.
Oleh karena itu, penyakit Hirschsprung sudah dapat dideteksi melalui pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan radiologi, barium, enema, rectal biopsi, rectum, manometri anorektal dan melalui penatalaksanaan dan teraupetik yaitu dengan pembedahan dan colostomi.












C. KONSEP DASAR MEDIS HIRSCHPRUNG
1. Pengertian
Hirschsprung (megakolon/aganglionic congenital) adalah anomali kongenital yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidakadekuatan motilitas sebagian usus (Wong, 2003).
Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir 3 Kg, lebih banyak laki – laki dari pada perempuan (Mansjoer, 2000).
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan (Betz, Cecily & Sowden, 2002).
Penyakit hirschprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada usus, dapat dari kolon sampai usus halus (Ngastiyah, 2005).
Hirschprung Desease adalah ketidakseimbangan congenital ganglion otonom congenital yang mempersarafi pleksus mienterikus ditaut anorektum dan seluruh atau sebagian rectum dan kolon (Corwin, 2009).
Jadi megakolon atau hirschprung adalah kelainan tidak adanya sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid, namun pada intinya sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh obstruksi mekanis yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rectum berelaksasi.






2. Etiologi Hirschprung
Penyebab tidak diketahui, tetapi ada hubungan dengan kondisi genetic. Mutasi pada Ret proto-onkogen telah dikaitkan dengan neoplasia endokrin 2A atau 2B pada penyakit Hirschsprung familiar. Gen lain yang berhubungan dengan penyakit Hirschsprung termasuk sel neurotrofik glial yang diturunkan dari factor gen, dari factor gen endhotelin-B, dan gen endothelin. Penyakit Hirschprung juga terkait dengan Down syndrome, sekitar 5-15% dari pasien dengan penyakit Hirschprung juga memiliki trisomi 21 (Sodikin, 2012).
Adanya defek pada migrasi sel neuroblast dalam jalurnya menuju usus bagian distal juga menjadi salah satu etiologi penyakit hirschprung. Migrasi neuroblast yang abnormal dapat terjadi dengan adanya kegagalan neuroblast dalam bertahan, berpoliferase, atau berdiferensiasi pada segmen aganglionik distal. Distribusi komponen yang tidak proporsional untuk pertumbuhan dan perkembangan neuronal dapat menyebabkan aganglionik pada usus (Betz, Cecily L, et.al. 2002).

3. Tipe Hirschsprung
Menurut staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI (1996). Hirschsprung dibedakan sesuai dengan panjang segmen yang terkena, hirschsprung dibedakan menjadi dua tipe berikut (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1996; Sacharin, 1986 dalam Sodikin, 2012) :
a. Segmen Pendek
Segmen pendek aganglionisis mulai dari anus sampai sigmoid,terjadi pada sekitar 70% kasus penyakit Hirschsprung dan tipe ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan anak perempuan. Pada tipe segmen pendek yang umum, insidennya 5 kali lebih besar pada laki-laki dibandingkan wanita dan kesempatan saudara laki-laki dari penderita anak untuk mengalami penyakit ini adalah 1 dari 20.
b. Segmen Panjang
Daerah aganglionisis dapat melebihi sigmoid, bahkan kadang dapat mengenai seluruh kolon atau sampai usus halus. Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama, terjadi pada 1 dari 10 kasus tanpa membedakan jenis kelamin.

4. Manifestasi Klinis
Penyakit hirschsprung harus dicurigai bila seseorang bayi cukup bulan terlambat mengeluarkan feses. Beberapa bayi akan mengeluarkan mekonium secara normal, tetapi selanjutnya memperlihatkan riwayat konstipasi kronis. Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir dapat merupakan gejala obstruksi akut. Tiga tanda (trias) yang sering ditemukan  meliputi mekonium yang terlambat keluar (lebih dari 24 jam), perut kembung dan muntah berwarna hijau. Pada neonatus, kemungkinan ada riwayat keterlambatan keluarnya mekonium selama 3 hari atau bahkan lebih. Mungkin terdapat obstruksi rectum dengan distensi abdomen progesif dan muntah. Sementara itu,pada anak yang lebih besar kadang-kadang ditemukan keluhan adanya diare atau enterkolitis kronik lebih menonjol daripada tanda-tanda obstipasi (sambelit) (Sodikin, 2012).
Kegagalan mengeluarkan feses menyebabkan dilatasi bagian proksimal usus besar yang mengakibatkan perut menjadi kembung. Usus besar melebar, tekanan di dalam lumen meningkat, mengakibatkan aliran darah menurun dan menjadi perintang mukosa terganggu. Sebagian besar tanda dapat ditemukan pada minggu pertama kehidupan, sedangkan yang lain ditemukan sebagai kasus konstipasi kronik dengan tingkat keperahan bertambah seiring pertambahan usia anak. Pada anak yang lebih tua biasanya terdapat konstipasi kronik disertai anoreksia dan kegagalan pertumbuhan (Sodikin, 2012).
Kegagalan pertumbuhan yang disebabkan oleh hipoproteinemia  akibat enteropati pembuangan protein saat ini merupakan tanda yang lebih jarang ditemukan. Penyakit hirschsprung sudah dapat diketahui pada awal perjalanan penyakit. Bayi yang mendapat ASI tidak memperlihatkan gejala lebih parah dibadingkan bayi yang mendapat susu formula (Sodikin, 2012).
Masa diare yang berganti-ganti dengan konstipasi merupakan hal yang tidak lazim. Jika disertai komplikasi enterokolitis anak akan mengeluarkan feses besar, mengandung darah dan sangat berbau. Terdapat peristaltik dan bising usus yang nyata (Sodikin, 2012).



















5. Patofisiologi




Sel ganglion enterik berasal dari differensiasi sel neuroblast. Selama perkembangan normal, neuroblast dapat ditemukan di usus halus pada minggu ke 7 usia gestasi dan akan sampai ke kolon pada minggu ke 12 usia gestasi. Adanya defek pada migrasi sel neuroblast dalam jalurnya menuju usus bagian distal juga menjadi salah satu etiologi penyakit hirschprung. Migrasi neuroblast yang abnormal dapat terjadi dengan adanya kegagalan neuroblast dalam bertahan, berpoliferase, atau berdiferensiasi pada segmen aganglionik distal. Distribusi komponen yang tidak proporsional untuk pertumbuhan dan perkembangan neuronal dapat menyebabkan aganglionik pada usus (Betz, Cecily L, et.al. 2002).
Terdapat tiga pleksus neuronal yang menginnervasi usus, pleksus submukosal (Meissner), Intermuskuler (Auerbach), dan pleksus mukosal. Ketiga pleksus ini terintegrasi dan berperan dalam seluruh aspek fungsi usus, termasuk absorbsi, sekresi, motilitas, dan aliran darah. Motilitas yang normal utamanya dikendalikan oleh neuron intrinsik. Ganglia ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dimana relaksasi mendominasi. Fungsi usus telah adekuat tanpa innervasi ekstrinsik. Kendali ekstrinsik utamanya melalui serat kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik ini menyebabkan kontraksi, dan serat adrenergik menyebabkan inhibisi (Betz, Cecily L, et.al. 2002).
Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion tidak ditemukan sehingga kontrol intrinsik menurun, menyebabkan peningkatan kontrol persarafan ekstrinsik. Innervasi dari sistem kolinergik dan adrenergik meningkat 2-3 kali dibandingkan innervasi normal. Sistem adrenergik diduga mendominasi sistem kolinergik, mengakibatkan peningkatan tonus otot polos usus. Dengan hilangnya kendali saraf intrinsik, peningkatan tonus tidak diimbangi dan mengakibatkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi, dan pada akhirnya, obstruksi fugsional. Penyakit Hirschsprung adalah akibat tidak adanya sel ganglion pada dinding usus, meluas ke proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang yang bervariasi. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segman yang aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75% penderita; pada 10%, seluruh kolon tanpa sel-sel ganglion. Bertambah banyaknya ujung-ujung saraf pada usus yang aganglionik menyebabkan kadar asetilkolinesterase tinggi. Secara histologi, tidak didapatkan pleksus Meissner dan Auerbach dan ditemukan berkas-berkas saraf yang hipertrofi dengan konsentrasi asetilkolinesterase yang tinggi diantara lapisan-lapisan otot dan pada submukosa (Betz, Cecily L, et.al. 2002).
Secara garis besar, ringkasan tahapan terjadinya hirschprung adalah sebagai berikut:
Persarafan parasimpatik colon didukung oleh ganglion. Persarafan parasimpatik yang tidak sempurna pada bagian usus yang aganglionik mengakibatkan peristaltic abnormal sehingga terjadi konstipasi dan obstruksi
Tidak adanya ganglion disebabkan kegagalan dalam migrasi sel ganglion selama perkembangan embriologi. Karena sel ganglion tersebut bermigrasi pada bagian kaudal saluran gastrointestinal (rectum) kondisi ini akan memperluas hingga proksimal dari anus.
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk control kontraksi dan relaksasi peristaltic secara normal. Pada penderita hirschprung terjadi gangguan pada ganglion intramural plexus.
Penyempitan pada lumen usus, tinja dan gas akan terkumpul dibagian proksimal dan terjadi obstruksi dan menyebabkan di bagian colon tersebut melebar ( megacolon).

6. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan colok dubur
Pada penderita Hisrchsprung, pemeriksaan colok anus sangat penting untuk dilakukan. Saat pemeriksaan ini, jari akan merasakan jepitan karena lumen rectum yang sempit. Pada saat ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan mukonium (feses) yang menyemprot (Sodikin, 2012).
b. Pemeriksaan lain (Sodikin, 2012) :
1) Foto polos abdomen tegak akan memperlihatkan usus-usus melebar atau terdapat gambaran obstruksi usus rendah.
2) Pemeriksaan radiologis akan memperlihatkan kelainan pada kolon setelah enema barium. Radiografi biasa akan memperlihatkan dilatasi dari kolon diatas segmen aganglionik
3) Biopsy rectal dilakukan dengan anastesi umum, hal ini melibatkan diperolehnya sampel lapisan otot rectum untuk pemeriksaan adanya sel ganglion dari pleksus Aurbach (biopsy) yang lebih superficial untuk memperoleh mukosa dan submukosa bagi pemeriksaan pleksus meissner.
4) Manometri anorektal merupakan uji dengan suatu balon yang ditempatkan dalam rectum dan dikembangkan. Secara normal, dikembangkannya balon akan menghambat sfingter ani interna. Efek inhibisi pada penyakit Hisrchsprung tidak ada jika dan jika balon berada dalam balon aganglionik, dapat diidentifikasi gelombang rectal yang abnormal. Uji ini efektif dilakukan pada masa neonatus karena dapat diperoleh hasil baik positif palsu ataupun negative palsu.



7. Komplikasi
Menurut Corwin (2009) komplikasi penyakit hirschsprung yaitu gangguan elektrolit dan perforasi usus apabila distensi tidak diatasi.
Menurut Mansjoer (2000) menyebutkan komplikasi penyakit hirschprung adalah:
˗ Pneumatosis usus
˗ Enterokolitis nekrotiokans
˗ Abses peri kolon
˗ Perforasi, disebabkan aliran darah ke mukosa berkurang dalam waktu lama.
˗ Septikemia, disebabkan karena bakteri yang berkembang dan keluarnya endotoxin karena iskemia kolon akibat distensi berlebihan pada dindinng usus.
Sedangkan komplikasi yang muncul antara lain Mansjoer (2000):
o Gawat pernafasan (akut), disebabkan karena distensi abdomen yang menekan paru – paru sehingga mengganggu ekspansi paru.
o Enterokolitis (akut), disebabkan karena perkembangbiakan bakteri dan pengeluaran endotoxin.
o Stenosis striktura ani. Gerakan muskulus sfingter ani tak pernah mengadakan gerakan kontraksi dan relaksasi karena ada colostomy sehingga terjadi kekakuan ataupun penyempitan.

8. Penatalaksanaan
Masalah utama adalah terjadinya gangguan defekasi (obstipasi). Perawatan yang dilakukan adalah melakukan spuling dengan air garam fisiiologis hangat setiap hari (bila ada persetujuan dokter) dan mempertahankan kesehatan pasien dengan memberi makanan yang cukup bergizi serta mencegah terjadinya infeksi (Ngastiyah, 2005).
Setelah ditemukan kelainan histologik dari Hisrchsprung, selanjutnya mulai dikenal teknik operasi yang rasional untuk penyakit ini. Tindakan definitive bertujuan  menghilangkan hambatan pada segmen usus yang menyempit. Tindakan konservatif adalah tindakan darurat untuk menghilangkan tanda-tanda obstruksi rendah dengan jalan memasang anal tube dengan atau tanpa disertai pembilasan air garam hangat secara teratur. Air tidak boleh digunakan karena bahaya absorpsi air mengarah pada intoksikasi air. Hal ini disebabkan oleh difusi air ke dalam sirkulasi secara cepat pada usus yang mengalami dilatasi. Penatalaksanaan dari gejala obstipasi dan mencegah enterokolitis dapat dilakukan dengan bilas kolon mengunakan garam faali. Cara ini efektif dilakukan pada Hisrchsprung tipe segmen pendek. Untuk tujuan yang sama juga dapat dilakukan dengan tindakan kolostomi didaerah ganglioner (Sodikin, 2012).
Membuang segmen aganglionik dan mengembalikan kontiuitas usus dapat dikerjakan dengan satu atau dua tahap. Teknik ini disebut operasi definitive yang dapat dikerjakan bila berat badan bayi sudah cukup (lebih dari 9 kg). Tindakan konservatif ini sebenarnya akan mengaburkan gambaran pemeriksaan barium enema yang dibuat kemudian. Kolostomi merupakan tindakan operasi darurat untuk menghilangkan gejala obstruksi usus, sambil menunggu dan memperbaiki keadaan umum penderita sebelum operasi definitive. Berikan dukungan pada orang tua. Karena kolostomi sementara sukar diterima. Orang tua harus belajar bagaimana merawat anak dengan kolostomi, obsevasi apa yang perlu dilakukan, bagaimana membersihkan stoma, dan bagaimana menggunakan kantong kolostomi. Intervensi bedah terdiri atas pengangkatan segmen usus aganglionik yang mengalami osbtruksi. Pembedahan rekto-simoidektomi dilakukan dengan teknik pull-through dan dapat dicapai dengan prosedur tahap pertama, tahap kedua, dan tahap ketiga. Rekto-sigmoidoskopi didahului oleh kolostomi. Kolostomi ditutup dalam prosedur tahap kedua. Pull-through (Swenson, Rehbein dan Duhamel) yaitu jenis pembedahan dengan mereksesi segmen yang menyempit dan menarik usus sehat ke arah anus (Sodikin, 2012).
Operasi Swenson dilakukan dengan teknik anastomosis intususepsi ujung ke ujung usus aganglionik  dan ganglionik melalui anus dan reseksi serta anastomosis sepanjang garis bertitik-titik. Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvik / abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup.
 Operasi Duhamel merupakan modifikasi prosedur pull-through dan pembuatan anastomosis longitudinal di antara segmen proksimal kolon berganglion dan rektum, meninggalkan rektum in situ. Prinsip dasar prosedur Duhamel ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end to side.
Operasi Rehbein merupakan suatu prosedur berupa deep anterior resection, dimana dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis (Sodikin, 2012).
Operasi soave dilakukan dengan cara mukosa diangkat, bagian muscular usus yang aganglionik ditinggalkan dan usus ganglionik didorong sampai menggantung dari anus. Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut. Cara Duhamel dan Soave, bagian distal rectum tidak dikeluarkan sebab merupakan pase operasi yang sukar dikerjakan, anastomosis koloanal dibuat secara tarik terobos (Pull through) (Sodikin, 2012).
Persiapan prabedah rutin antara lain Lavase kolon, antibiotic, infus intravena, dan pemasangan Tuba nasogastrik, sedangkan penatalaksanaan perawatan pasca bedah terdiri atas perawatan luka, perawatan kolostomi, observasi, terhadap distensi abdomen, fungsi kolostomi, peritonitis, ileus paralitik, dan peningakatan suhu. Selain melakukan persiapan serta penatalaksanaan pasca bedah, perawat juga perlu memberikan dukungan pada orang tua, karena orang tua harus belajar bagaimana merawat anak dengan suatu kolostomi, mengobservasi apa yang harus dilakukan, bagaimana membersihkan stoma, dan bagaimana menggunakan kantong kolostomi (Sodikin, 2012).
Penatalaksanaan perawat
Perhatian perawatan tergantung pada umur anak, perhatian utama antara lain (FKUI, 2000) :
a. Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara dini
b. Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak
c. Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis (pembedahan)
d. Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang.
D. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HIRSCHSPRUNG
1. Pengkajian
Pengkajian Keperawatan menurut Sodikin (2012):
1) Lakukan pengkajian fisik rutin.
2) Kumpulkan riwayat kesehatan dengan cermat, terutama yang berhubungan dengan pola defekasi.
3) Kaji status hidrasi dan nutrisi umum.
4) Pantau pola defekasi.
5) Ukur lingkar abdomen.
6) Observasi manifestasi penyakit Hirschsprung.
Periode Bayi Baru Lahir
a. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 24-28 jam setelah lahir.
b. Menolak untuk minum air.
c. Muntah berwarna empedu
d. Distensi abdomen.
Masa Bayi
a. Ketidakadekuatan kenaikan berat badan (BB).
b. Konstipasi.
c. Episode diare dan muntah.
d. Tanda aminous (sering menandakan adanya enterokolitis).
e. Diare berdarah.
f. Demam.
g. Letargi berat.
Masa Kanak-Kanak (Gejala Lebih Kronis)
a. Konstipasi.
b. Feses berbau menyengat dan seperti karbon.
c. Distensi abdomen.
d. Massa fekal dapat teraba.
e. Anak biasanya mempunyai nafsu makan dan pertumbuhan yang buruk.
7) Kolaborasi dalam prosedur diagnostic dan pengujian, misalnya radiografi, biopsy retal, manometri anorektal.
Menurut Suriadi  & Rita Yuliani (2006), fokus pengkajian yang dilakukan pada penyakit hischprung adalah:
a. Riwayat pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama setelah lahir, biasanya ada keterlambatan.
b. Riwayat tinja seperti pita dan bau busuk.
c. Pengkajian status nutrisi dan status hidrasi:
1) Adanya mual, muntah, anoreksia, mencret.
2) Keadaan turgor kulit biasanya menurun.
3) Peningkatan atau penurunan berat badan.
4) Penggunaan nutrisi dan rehidrasi parenteral.
d. Pengkajian status bising usus untuk melihat pola bunyi hiperaktif pada bagian proximal karena obstruksi, biasanya terjadi hiperperistaltik usus.
e. Pengkajian psikososial keluarga berkaitan dengan
1) Anak: Kemampuan beradaptasi dengan penyakit, mekanisme koping yang digunakan.
2) Keluarga: Respon emosional keluarga, koping yang digunakan keluarga, penyesuaian keluarga terhadap stress menghadapi penyakit anaknya.
f. Pemeriksaan laboratorium darah hemoglobin, leukosit dan albumin juga perlu dilakukan untuk mengkaji indikasi terjadinya anemia, infeksi dan kurangnya asupan protein.

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut Sodikin (2012):
1) Risiko cedera yang berhubungan dengan penurunan motilitas usus.
2) Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan krisis situasi (anak dihospitalisasi)

Diagnosa keperawatan menurut Wong (2003):
Pra operatif
1) Risiko tinggi cidera berhubungan dengan prosedur bedah, anastesia
2) Cemas/takut berhubungan dengan perpisahan dari sistem pendukung, lingkungan tidak dikenal, kurang pengetahuan.
3) Perubahan proses keluarga berhubungan dengan prosedur pembedahan.
Pasca operatif
1) Risiko tinggi cedera berhubungan dengan prosedur bedah , anastesia.
2) Cemas/takut berhubungan dengan pembedahan, lingkungan asing, perpisahan dari sistem pendukung, ketidaknyamanan.
3) Nyeri berhubungan dengan insisi bedah.
4) Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan status puasa sebelum dan/atau setelah pembedahan, kehilangan nafsu makan, muntah.
5) Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan kondisi yang lemah, adanya organisme infeksius.
6) Perubahan proses keluarga berhubungan dengan krisis situasi (kedaruratan hospitalisasi anak), kurang pengetahuan.

Diagnosa keperawatan menurut Capernito (1999):
a. Pre operasi
1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru akibat distensi abdomen
2) Gangguan eliminasi: konstipasi berhubungan dengan obstruksi akibat defek persarafan/aganglion pada usus
3) Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah
4) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah, diare dan pemasukan terbatas karena mual.
b. Post Operasi
1) Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan
2) Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan dan adanya insisi
3) Cemas keluarga berhubungan dengan kurang pengetahuan keluarga mengenai pengobatan dan perawatan post operasi
Diagnosa keperawatan menurut Muttaqin (2011)
1) Konstipasi berhubungan dengan penyempitan kolon sekunder, obstruksi mekanik, aganglionik usus.
2) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen; pasca tindakan pembedahan.
3) Risiko ketidakseimbangan volume cairan tubuh berhubungan dengan keluar cairan tubuh dari muntah, ketidakmampuan absorbs air oleh intestinal.
4) Risiko injuri berhubungan dengan pasca prosedur bedah, iskemia, nekrosis dinding intestinal sekunder dari kondisi obtruksi usus
5) Risiko infeksi berhubungan dengan pasca prosedur pembedahan.


3. Intervensi keperawatan
Intervensi Keperawatan menurut Sodikin (2012):
1) Risiko cedera yang berhubungan dengan penurunan motilitas usus.
Sasaran : pasien siap untuk prosedur pembedahan.
Hasil yang diharapkan :
a. Usus siap untuk prosedur pembedahan.
b. Anak dan keluarga menujukan pemahaman tentang pembedahan dan implikasinya.
Intervensi:
a. Beri enema sesuai ketentuan untuk mengosongkan usus.
b. Beri antibiotik sistemik sesuai ketentuan untuk menurunkan flora bakteri dalam usus.
c. Beri irigasi kolon antibiotic sesuai ketentuan untuk menurunkan flora bakteri dalam usus.
d. Beri cairan dan elektrolit sesuai ketentuan untuk menstabilkan anak menghadapi pembedahan.
e. Ukur dan catat lingkar abdomen. Distensi progresif merupakan tanda yang serius.
f. Ukur diameter abdomen yang terbesar (biasanya setinggi umbilikus).
g. Tandai titik pengukuran dengan pena untuk meyakinkan ketepatannya.
h. Pasang pita ukur di bawah anak dan lakukan pengukuran pada saat pengukuran tanda-tanda vital agar tidak mengganggu anak untuk hal-hal yang tidak perlu.
Pasca Bedah
2) Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan krisis situasi (anak dihospitalisasi)
Sasaran : Pasien dan keluarga mendapatkan dukungan yang adekuat.
Hasil yang diharapkan :  Anak dan keluarga menunjukan kemampuan dalam memberikan perawatan kolostomi di rumah.
Intervensi :
a. Kenalkan keluarga pada anggota-anggota staf yang signifikan.
b. Gambarkan rutinitas RS yang berkaitan dengan perawatan anak.
c. Bantu keluarga beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan asing (misalnya, tata letak fisik ruangan, termasuk ruang bermain, dapur, toilet, telepon, dimana mereka dapat tinggal, di mana mereka dapat menyimpan barang-barang miliknya).
d. Tunjukan kepada keluarga area di luar unit yang mungkin perlu mereka gunakan (misalnya, ruangan keluarga, kapel, taman).
e. Arahkan keluarga ke tujuan (tempat-tempat di RS yang menarik untuk dilihat dan dibicarakan).
f. Berikan suasana yang menimbulkan pertanyaan, misalnya ekspresi keraguan dan perasaan.
g. Selalu ada untuk keluarga.
h. Waspai tanda-tanda ketegangan pada anggota keluarga.
i. Jaga privasi.
j. Dorong keluarga dan anak yang lebih besar untuk mmbantu mengganti pakaian selama periode pascabedah awal untuk memudahkan penyesuaian diri mereka.





Intervensi menurut Wong (2003):

































Intervensi menurut Capernito (1999):
Pre operasi
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi
1 Risiko pola nafas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru akibat adanya distensi abdomen
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, gangguan pola nafas tidak terjadi.
NOC :
Respiratory Status

Kriteria Hasil :
Frekuensi pernafasan normal.
Ekspansi dada optimal dan simetris
Bernafas mudah
Respiratory Monitoring
Monitor frekuensi, ritme dan kedalaman pernafasan.
Catat pergerakan dada, kesimetrisan, penggunaan otot tambahan.
Monitor pola nafas seperti, bradipneu, takipneu, hiperventilasi.
Auskultasi suara pernafasan
Oxygen terapy
Pertahankan jalan nafas yang paten
Pertahankan posisi pasien dengan kepala lebih tinggi
Siapkan peralatan oksigenasi
Monitor dan atur aliran oksigen

2 Gangguan eliminasi: konstipasi b.d obstruksi akibat defek persyarafan/aganglion usus Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, konstipasi dapat teratasi.
NOC :
Bowel Elimination

Kriteria Hasil :
Pola eliminasi dalam batas normal.
Warna feses dalam batas normal.
Bau feses tidak menyengat.
Konstipasi tidak terjadi.
Ada peningkatan pola eliminasi yang lebih baik. Bowel Irigation
Tetapkan alasan tindakan membersihkan saluran pencernaan.
Memberikan laksatif, enema/spuling dengan air garam fisiologis hangat setiap hari atau supositoria sesuai instruksi.
Jelaskan prosedur pada pasien/keluarga.
Monitor efek samping dari tindakan pengobatan
Observasi tanda vital dan bising usus setiap 2 jam sekali
Observasi pengeluaran feces per rektal – bentuk, konsistensi, jumlah.
Konsultasikan dengan dokter rencana pembedahan.

3 Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual muntah Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, muntah dapat teratasi sehingga resiko tidak terjadi.

NOC :
Status Nutrisi

Kriteria Hasil :
Berat badan pasien sesuai umur.
Pasien terlihat ada stamina, tenaga, kekuatan menggenggam.
Konjungtiva tidak anemis
8
Management Nutrisi
Kaji riwayat makanan yang biasa dimakan dan kebiasaan makan; konsumsi ASI.
Timbang berat badan.
Anjurkan ibu untuk tetap memberikan ASI rutin.
Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan.

Monitoring Nutrisi
Monitor turgor kulit.
Monitor mual dan muntah.
Monitor intake nutrisi.
Monitor pertumbuhan dan perkembangan anak.

4 Resiko kekurangan volume cairan b.d muntah dan pemasukan terbatas karena mual. Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, resiko kekurangan cairan tidak terjadi.
NOC :
Fluid balance.
Kriteria Hasil :
Keseimbangan intake dan out put 24 jam.
Berat badan stabil.
Mata tidak cekung.
Membran mukosa lembab.
Kelembaban kulit baik. NIC :
Fluid Management
Timbang popok jika diperlukan.
Pertahankan intake dan output yang adekuat.
Monitor status hidrasi.
Monitor vital sign.
Kolaborasikan pemberian cairan IV.
Dorong masukan oral seperti ASI.

Post Operasi
1 Nyeri b.d insisi pembedahan Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, nyeri berangsur teratasi.
NOC :
Pain Level

Kriteria Hasil :
Mengenali faktor dan penyebab nyeri.
Menggunakan metode pencegahan nyeri.
Mengenali gejala nyeri. NIC :
Pain Management
Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi : lokasi , karakteristik dan onset, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor – faktor presipitasi.
Observasi isyarat – isyarat non verbal dari ketidaknyamanan, khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif.
Gunakan komunikasi terapeutik agar pasien dapat mengekspresikan nyeri.
Kontrol faktor – faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan (seperti: temperatur ruangan, penyinaran).
Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi (misalnya : relaksasi, guided imagery, distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas)
Analgetik Administration
Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat.
Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan frekuensi
Pilih analgetik yang diperlukan / kombinasi dari analgetik ketika pemberian lebih dari satu.
Tentukan pilihan analgetik tergantung tipe dan beratnya nyeri.

2 Resiko infeksi b.d insisi luka post operasi dan imunitas menurun
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan, resiko infeksi tidak terjadi dan luka sembuh sempurna
NOC :
Imune Status

Kriteria Hasil :
Pasien bebas dari gejala infeksi.
Mengetahui proses penularan penyakit.
Menunjukan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi.
Menunjukan perilaku hidup sehat.

NIC :
Infection Protection
Meminimalkan risiko infeksi pasien dengan: mencuci tangan sebelum dan setelah memberikan perawatan, menggunakan sarung tangan untuk mempertahankan asepsis pada saat memberikan perawatan langsung
Mengobservasi suhu minimal setiap 4 jam dan catat pada kertas grafik.
Monitor tanda gejala infeksi sistemik dan lokal
Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas dan drainase
Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
Berikan perawatan luka.
Dorong masukan nutrisi yang cukup
Anjurkan pasien/keluarga pasien agar pasien mendapat istirahat yang cukup.
Mengobservasi faktor-faktor yang meningkatkan resiko injuri
Memonitor adanya komplikasi pascabedah
Mempertahankan status hemodinamik yang optimal
Melakukan kolaborasi pemberian antibiotik pascabedah

3 Cemas keluarga b.d kurang pengetahuan keluarga mengenai pengobatan dan perawatan luka Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, kecemasan keluarga berkurang dan termotivasi untuk membantu merawat pasien agar cepat sembuh serta dapat merawat di rumah.
Kriteria Hasil :
Keluarga klien mampu mengungkapkan kecemasan.
Keluarga klien mengungkapkan keinginan belajar ikut merawat klien.
Keluarga klien memahami tujuan pengobatan dan perawatan klien.
Keluarga klien mampu melakukan perawatan dirumah.
Bina hubungan saling percaya
Berikan kesempatan keluarga klien untuk mengungkapkan keinginan dan harapan
Pertahankan kondisi senyaman mungkin
Berikan penjelasan mengenai prosedur pengobatan, perawatan
Berikan penjelasan, pelatihan bagaimana perawatan klien dirumah dari perawatan kolostomi, menjaga kebersihan, dan Diit tepat.








Intervensi menurut Muttaqin (2011)
Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteri hasil Intervensi Rasional
Konstipasi berhubungan dengan penyempitan kolon sekunder, obstruksi mekanik, aganglionik usus.
Pola BAB  normal 1-2 kali sehari.

Kriteria hasil: masalah konstipasi pasien teratasi, pasien mempertahankan defekasi setiap hari a. Observasi bising usus dan periksa adanya distensi abdomen pasien. Pantau dan catat frekuensi dan karakteristik feses.
b. Catat asupan haluaran secara akurat

c. Dorong pasien untuk mengonsumsi cairan setiap hari, bila tidak ada kontra indikasi.
d. Lakukan program defekasi. Berikan laksatif, enema atau supositoria sesuai instruksi. a. Untuk menyusun rencana penanganan yang efektif dalam mencegah konstipasi dan impaksi fekal

b. Untuk meyakinkan terapi penggantian cairan yang adekuat.
c. Untuk meningkatkan terapi penggantian cairan dan hidrasi

d. Untuk membantu adaptasi terhadap fungsi fisiologis normal. Untuk meningkatkan eliminasi feses padat atau gas dari saluran pencernaan, pantai keefektifannya.
Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen; pasca tindakan pembedahan.
Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak menangis, tidak mengalami gangguan pola tidur a. Kaji terhadap tanda nyeri


b. Berikan tindakan kenyamanan : menggendong, suara halus, ketenangan, teknik relaksasi.
c. Berikan obat analgesik sesuai program a. Mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah selanjutnya
b. Upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri.


c. Mengurangi persepsi terhadap nyeri yamg kerjanya pada sistem saraf pusat d.
Risiko ketidakseimbangan volume cairan tubuh berhubungan dengan keluar cairan tubuh dari muntah, ketidakmampuan absorbs air oleh intestinal.
Tujuan: kebutuhan cairan terpenuhi.

Kriteria hasil: turgor kulit elastic dan normal, CRT < 3 detik a. Timbang berat badan pasien setiap hari sebelum sarapan

b. Ukur asupan cairan dan haluaran urine untuk mendapatkan status cairan

c. Pantau berat jenis urin. Normal: 1,003-1,035





d. Periksa membrane mukosa mulut setiap hari

e. Tentukan cairan apa yang disukai pasien dan simpan cairan tersebut disamping tempat tidur pasien, sesuai instruksi.
f. Pantau kadar elektrolit serum. Kadar elektrolit normal:
b. Na: 135-148 mEq/lt.
c. K: 3,5-5,5 mEq/lt.
d. Mg: 1,5-2,5 mEq/lt.
e. Cl: 95-105 mEq/lt a. Untuk membantu mendeteksi perubahan keseimbangan cairan
b. Penurunan asupan atau peningkatan haluaran mengakibatkan deficit cairan
c. Peningkatan berat jenis urin mengindikasikan dehidrasi. Berat jenis urin rendah mengindikasikan kelebihan volume cairan.
d. Membrane mukosa kering merupakan suatu indikasi dehidrasi.
e. Untuk meningkatkan asupan cairan.



f. Perubahan nilai elektrolit dapat menandakan awitan ketidak seimbangan cairan
Risiko injuri berhubungan dengan pasca prosedur bedah, iskemia, nekrosis dinding intestinal sekunder dari kondisi obtruksi usus

Tujuan: Pascaintervensi reseksi kolon pasien tidak mengalami injuri
Kriteria hasil : TTV dalam batas normal, (RR:16-24 x/menit, Suhu : 36,5oC-37,5oC, N: 60-100 x/menit, TD: 100-140/60-90 mmHg), Kardiorespirasi optimal, Tidak terjadi infeksi pada insisi a. Observasi  faktor-faktor yang meningkatkan resiko injuri


b. Monitor tanda dan gejala perforasi atau peritonitis
















c. Lakukan pemasangan selang nasogastrik














d. Monitor adanya komplikasi pascabedah








e. Pertahankan status hemodinamik yang optimal


f. Hadirkan orang terdekat




g. Kolaborasi pemberian antibiotik pascabedah

a. Pascabedah terdapat resiko rekuren dari hernia umbilikalis akibat peningkatan tekanan intra abdomen
b. Tanda gejala yang penting adalah anak rewel tiba-tiba dan tidak bisa dibujuk atau diam oleh orangtua atau perawat, muntah-muntah, peningkatan suhu tubuh dan hilangnya bising usus. Adanya pengeluaran pada anus yang berupa cairan feses yang bercampur darah merupakan tanda klinik penting bahwa telah terjadi perforasi.
c. Tujuan memasang selang nasogastrik adalah intervensi dekompresi akibat respon dilatasi dan kolon obstruksi dari kolon aganglionik. Apabila tindakan dekompresi ini optimal, maka akan menurunkan distensi abdominal yang menjadi penyebab utama nyeri abdominal pada pasien hirschsprung.
d. Perawat memonitor adanya komplikasi pascabedah seperti mencret atau ikontinensia fekal, kebocoran anastomosis,formasi striktur, obstruksi usus, dan enterokolitis. Secara kondisi
e. Pasien akan mendapatkan cairan intravena sebagai pemeliharaan status hemodinamik
f. Pada anak menghadirkan orang terdekat dapat menpengaruhi penurunan respon nyeri.
g. Antibiotik menurunkan resiko infeksi yang akan menimbulkan reaksi inflamasi lokal.
Risiko infeksi berhubungan dengan pasca prosedur pembedahan.


Tujuan: Suhu dalam keadaan normal (36,5-37,5o C)

Kriteria hasil : Suhu dalam rentang normal(36,5-37,5o C), tidak ada patogen yang terlihat dalam kultur, luka dan insisi terlihat bersih, merah muda, dan bebas dari drainase purulen. a. Minimalkan risiko infeksi pasien dengan :
Mencuci tangan sebelum dan setelah memberikan perawatan, menggunakan sarung tangan untuk mempertahankan asepsis pada saat memberikan perawatan langsung
b. Observasi  suhu minimal setiap 4 jam dan catat pada kertas grafik. a. Mencuci tangan adalah satu-satunya cara terbaik untuk mencegah penularan pathogen. Sarung tangan dapat melindungi tangan pada saat memegang luka yang dibalut atau melakukan berbagai tindakan.

b. Suhu yang terus meningkat setelah pembedahan dapat merupakan tanda awitan komplikasi pulmonal, infeksi luka atau dehisens



4. Implementasi
Implementasi dilakukan dengan menggunakan panduan yang sesuai dengan intervensi.

5. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan memperhatikan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan.






















Kesimpulan
Hirschsprung disebut juga dengan megakolon congenital, merupakan kelainan ditemukan sebagai salah satu penyebab obstruksi usus pada neonatus. Pada kasus Hirschsprung tidak ditemukan pleksus mientorik atau pleksus di lapisan otot dinding usus,(plexus myentericus = Aurebach) akibatnya bagian usus yang terkena tidak dapat mengembang.
Penyakit Hirschsprung (mega kolon kongenital) adalah suatu penyumbatan pada usus  besar yang terjadi akibat pergerakan usus yang tidak adekuat  karena sebagian dari usus besar tidak memiliki saraf yang mengendalikan kontraksi ototnya. Hirschsprung terjadi karena adanya permasalahan pada persarafan usus besar paling bawah mulai dari anus hingga usus diatasnya. Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan gangguan pergerakan usus yang dimulai dari spingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Penyakit ini disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para simpatis dari pleksus Auerbach di kolon.
Obstipasi (sembelit) merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir dapat merupakan gejala obstruksi akut. Tiga tanda (trias) yang sering ditemukan meliputi mekonium yang terlambat keluar (lebih dari 24 jam). Perut kembung dan muntah berwarna hijau. Pada neonatus kemungkinan ada riwayat keterlambatan keluarnya mekonium selama 3 hari atau bahkan lebih.
Setelah ditemukan kelainan histologik dari Hisrchsprung, selanjutnya mulai dikenal teknik operasi yang rasional untuk penyakit ini. Tindakan definitive bertujuan  menghilangkan hambatan pada segmen usus yang menyempit. Tindakan konservatif adalah tindakan darurat untuk menghilangkan tanda-tanda obstruksi rendah dengan jalan memasang anal tube dengan atau tanpa disertai pembilasan air garam hangat secara teratur.
Komplikasi penyakit hirschsprung yaitu gangguan elektrolit dan perforasi usus apabila distensi tidak diatasi, Pneumatosis usus, Enterokolitis nekrotiokans, Abses peri kolon, Septikemia, disebabkan karena bakteri yang berkembang dan keluarnya endotoxin karena iskemia kolon akibat distensi berlebihan pada dindinng usus.

Saran
Sebagai calon perawat harus mengerti dan memahami  penyakit hirschsprung (mega kolon kongenital). Dengan memahami dan mengerti penyakit hirschprung, sebagai calon perawat maka bisa memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi ke-3. Jakarta : EGC.
Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan (Diagnose Keperawatan Dan Masalah Kolaboratif. Edisi 2. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, ed.3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Mutaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal, Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit, Edisi 2. Jakarta : EGC
Sodikin. 2012. Keperawatan Anak: Gangguan Pencernaan. Jakarta : EGC.
Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. 2005. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 3. Universitas Indonesia. Jakarta
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, Edisi 4. Jakarta : EGC
Yuliani, Rita dan Suriadi. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta : PT. Percetakan Penebar Swadaya.

0 Response to "Laporan Pendahuluan Hirschsprung Mahasiswa Keperawatan Terbaru 2021"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel