Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Epilepsi terbaru 2021
Tuesday, 30 July 2019
Add Comment
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan meningkatnya minat masyarakat untuk berobat, baik ke Puskesmas, rumah sakit, maupun dokter swasta, maka makin jelaslah bahwa penyakit saraf ataupun keluhan-keluhan neurologik merupakan sebagian yang tidak kecil daripada kasus-kasus yang dijumpai dalam praktek. Kemajuan yang pesat di bidang neurologi terutama mengenai diagnostik dan terapi, menyebabkan bahwa peranan neurologi dalam rangka kesehatan masyarakat makin penting. Penyakit-penyakit saraf yang dahulu mempunyai mortalitas yang tinggi atau menyebabkan invaliditas berat kini dapat diobati secara efektif, sedangkan gejala-gejala sisa penyakit saraf dapat ditanggulangi sebaik-baiknya dengan adanya kemajuan di bidang rehabilitasi dan fisioterapi (Mardjono, 2008 dalam Sidharta Priguna, 2008).
Walaupun telah dilakukan banyak penelitian dan perubahan pendekatan, perkembangan terapi epilepsi selama dasawarsa terakhir ini terasa lambat. Beberapa faktor berpengaruh terhadap perkembangan terapi efilepsi, antara lain faktor yang berasal dari penderita, obat anti-epilepsi (OAE), dan dokter yang menanganinya. Salah satu faktor yang paling menonjol adalah kekeliruan diagnosis, baik yang menyangkut epilepsi sebagai suatu sindrom maupun jenis serangannya. Kekeliruan diagnosis ini terutama terjadi pada epilepsi parsial atau yang bersifat nonkonvulsif. Secara umum, terjadinya kekeliruan diagnosis disebabkan oleh kriteria diagnosis yang didasarkan pada anamnesis (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2008).
Terapi epilepsi bersifat khas, berbeda dengan terapi terhadap gejala atau penyakit lainnya. Sifat khas tadi diwarnai oleh programminum obat dalam jangka waktu yang lama, bertahun-tahun, bahkan mungkin seumur hidup. Disamping itu, dalam perakteknya terapi epilepsy tidaklah mudah. Hal ini disebabkan anatara lain oleh banyaknya jenis epilepsi yang masing-masing memerlukan pendekatan tersendiri dan tidak jelasnya efektivitas masing-masing jenis OAE, serta adanya kecenderungan bahwa penderita bosan minum obat atau pindah-pindah dokter (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2008).
Masalah-masalah psikososial, pendidikan, pekerjaan serta masa depan, pada umumnya menghantui penderita serta keluarganya. Di lain pihak, dokter juga menghadapi masalah yang tak kalah rumitnya. Dokter dituntut untukk berfikir dan bertindak secara komperhensif: bukan sekedar menulis resep OAE, tetapi juga haru mampu menjadi penasihat dan motivator yang baik, mau mengerti segala permasalahan yang dihadapi penderita dan sekaligus mampu memecahkan masalah yang ada, serta mampu menjelaskan segala seluk-beluk epilepsi kepada penderita dan keluarga (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2008).
Sebelum memberi OAE kepada penderita, maka diagnosis epilepsi harus ditegakkan terlebih dahulu. Serangan yang bersifat tunggal tidak dapat di pakai sebagai alasan untuk menegakkan diagnosis. Baik disini dan diluar negeri, epilepsi masih merupakan suatu problema kedokteran masyarakat di luar negeri dr. A. Hopkins dan dr. G. Scambler (1997) menyimpulkan dari penyelidikan mereka, bahwa para penderita epilepsi di London dapat pengobatan yang mencerminkan kurangnya pengertian tentang epilepsi di kalangan dokter umum (Sidharta, 2008)
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi. Pemahaman epilepsi secara menyeluruh sangat diperlukan oleh seorang perawat sehingga nantinya dapat ditegakkan asuhan keperawatan yang tepat bagi klien dengan epilepsi. Berdasarkan hal tersebut, penulis menyusun makalah ini agar dapat meningkatkan pengetahuan seputar epilepsi.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah itu penyakit epilepsi?
2. Apakah penyebab dan klasifikasi dari penyakit epilepsi?
3. Bagaimana patofisiologi penyakit epilepsi?
4. Apa saja manifestasi klinis penyakit epilepsi?
5. Bagaimana penatalaksanaan penyakit epilepsi?
6. Bagaimana proses pengkajian pada pasien epilepsi?
7. Apa sajakah pemeriksaan penunjang/diagnostik untuk epilepsi?
8. Apa saja masalah keperawatan yang muncul pada pasien epilepsi?
9. Apa saja intervensi keperawatan yang dapat disusun untuk menangani masalah keperawatan yang muncul pada pasien epilepsi?
10. Bagaimana implementasi dari intervensi keperawatan dari epilepsi?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui, memahami dan mampu mengaplikasikan penanganan pasien anak dengan masalah epilepsi menggunakan pendekatan proses keperawatan, meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi yang dihubungkan dengan konsep dasar medis penyakit.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengetian penyakit epilepsi.
b. Untuk mengetahui penyebab dan klasifikasi penyakit epilepsi.
c. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit epilepsi.
d. Untuk mengetahui manifestasi klinis penyakit epilepsi.
e. Untuk mengetahui penatalaksanaan penyakit epilepsi.
f. Untuk mengetahui proses pengkajian pada pasien epilepsi.
g. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang/diagnostik untuk epilepsi.
h. Untuk mengetahui masalah keperawatan yang muncul pada pasien epilepsi.
i. Untuk mengetahui intervensi keperawatan yang dapat disusun untuk menangani masalah keperawatan epilepsi.
j. Untuk mengetahui implementasi dan evaluasi dari proses keperawatan epilepsi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP DASAR MEDIS EPILEPSI
1. Pengertian Epilepsi
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik (Tarwoto, 2008).
Epilepsy adalah gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak berat yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Keadaan ini dapat dihubungkan dengan kehilangan kesadaran, gerakan berlebihan atau hilangnya tonus otot atau gerakan dan gangguan perilaku, alam perasaan, sensasi, dan persepsi. Sehingga epilepsy bukan penyakit tetapi suatu gejala. Penyebab pasti dari epilepsy masih belum diketahui (idiopatik) dan masih menjadi banyak spekulasi (Corwin, 2008).
Status epileptikus (aktivitas kejang lama yang akut) merupakan suatu rentetan kejang umum yang terjadi tanpa perbaikan kesadaran penuh diantara serangan. Istilah ini telah diperluas untuk mencakup kejang klinis atau listrik kontinu yang berakhir sedikitnya 30 menit, meskipun tanpa kerusakan kesadaran. Keadaan ini dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis mayor (Corwin, 2008)
Forum Internasional Melawan Epilepsi dan Biro Internasional untuk Epilepsi— sebagai mitra kolaborasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)—mendefinisikan epilepsi dalam pernyataan bersama tahun 2005 sebagai “gangguan otak yang ditandai oleh predisposisi terus-menerus yang menghasilkan serangan epilepsi dan oleh adanya konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial atas kondisi ini. Definisi epilepsi mensyaratkan terjadinya paling tidak satu serangan epilepsi.” (Wikipedia, 2014).
Serangan adalah pelepasan listrik tidak normal pada sekelompok sel otak. Serangan dapat menghasilkan berbagai gejala, tergantung pada lokasi serangan terfokus dan penyebaran aktivitas listrik melalui otak. Seseorang dikatakan menderita epilepsy ketika dia mengalami lebih dari 1 episode serangan epileptik. Sedangkan status epileptikus adalah kondisi dimana seseorang mengalami: serangan terus menerus lebih dari 5 hingga 10 menit; atau serangan datang dan pergi, masing-masing berlangsung kurang dari 5 menit, tetapi tanpa memperoleh kesadaran di antara serangan (Singapore Health, 2014).
2. Etiologi dan Klasifikasi Epilepsi
Epilepsi bukanlah penyakit tunggal, melainkan suatu gejala yang dapat dihasilkan oleh sejumlah gangguan berbeda. Penyebab yang mendasari epilepsi dapat diidentifikasikan sebagai masalah genetik, struktural, atau metabolisme, namun 60% kasus epilepsi tidak diketahui sebabnya. Genetik, cacat bawaan lahir, dan gangguan perkembangan lebih umum dialami mereka yang lebih muda, sedangkan tumor otak dan stroke lebih mungkin pada orang yang lebih tua. Serangan juga dapat terjadi sebagai akibat masalah kesehatan lain; jika serangan terjadi tepat setelah adanya sebab tertentu, seperti stroke, cedera kepala, konsumsi bahan toksik, atau masalah metabolisme, serangan ini disebut kejang simtomatik akut, dan termasuk kejang-kejang dalam klasifikasi yang lebih luas bukan epilepsi. Banyak di antara sebab-sebab kejang simtomatik akut yang juga dapat mengarah pada kejang yang disebutkan belakangan, yaitu epilepsi sekunder (National Clinical Guideline Centre, 2012 dalam Wikipedia, 2014).
Genetik
Genetik diyakini ikut terlibat dalam sebagian besar kasus, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa penyakit epilepsi disebabkan oleh kerusakan gen tunggal (1-2%); sebagian besar adalah akibat interaksi beberapa gen dan faktor lingkungan. Masing-masing kerusakan gen tunggal jarang terjadi. Beberapa gen yang terlibat memengaruhi saluran ion, enzim, GABA, dan reseptor terkait protein G. Pada kembar identik, jika salah satu menderita epilepsi, ada kemungkinan 50-60% kembar lainnya juga ikut menderita epilepsi. Pada kembar non-identik, risikonya 15%. Risiko ini lebih besar pada penderita dengan kejang umum daripada kejang fokal. Jika kedua kembar tersebut menderita epilepsi, kebanyakan (70-90%) memiliki sindrom epilepsi yang sama. Kerabat dekat lainnya dari penderita epilepsi memiliki risiko lima kali lebih besar dibandingkan mereka yang tidak. Antara 1 dan 10% penderita sindrom Down dan 90% penderita sindrom Angelman menderita epilepsi. (Pandolfo dan Bhalla, 2011 Etiologies of epilepsy: a comprehensive review dalam Wikipedia, 2014)
Penjelasan tentang adanya gangguan genetik yang mendasari epilepsi umum idiopatik atau grandmal ialah sebagai berikut. Ada suatu gene yang menentukan sintesis dan metabolisma asam glutamik yang menghasilkan gamma aminobutyric acid (GABA). Zat tersebut merupakan zat penghambat kegiatan neuronal alamiah. Orang-orang yang secara genetik kurang cukup memproduksi GABA merupakan orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk mendapat epilepsi, baik epilepsi fokal maupun epilepsi umum (Sidharta, 2008).
Sekunder
Epilepsi dapat terjadi sebagai akibat sejumlah kondisi lain yang meliputi: tumor, stroke, cedera kepala, infeksi sistem saraf pusat terdahulu, abnormalitas genetik, dan sebagai akibat kerusakan otak saat persalinan. Bagi mereka yang memiliki tumor otak, hampir 30% penderitanya menderita epilepsi, yang terhitung dalam 4% penyebab kasus epilepsi. Risiko paling besar adalah pada tumor yang berada di lobus temporal dan tumor yang tumbuh secara perlahan. Lesi lain yang berupa massa seperti malformasi kavernosus serebral dan malformasi arteriovena memiliki risiko sebesar 40-60%. Mereka yang pernah mengalami stroke, sebanyak 2-4% mengalami epilepsi di kemudian hari. Di Inggris, stroke bertanggung jawab atas 15% kasus epilepsi dan hal ini diyakini bertanggung jawab atas 30% kasus epilepsi pada lanjut usia. Antara 6 hingga 20% kasus epilepsi diyakini disebabkan oleh cedera kepala. Cedera otak ringan meningkatkan risiko sekitar dua kali lipat, sedangkan cedera otak berat meningkatkan risiko hingga tujuh kali lipat. Pada mereka yang pernah mengalami luka tembak berkekuatan tinggi pada kepala, risikonya mencapai hampir 50% (Bhalla, dkk., 2011 dalam Wikipedia 2014).
Risiko epilepsi setelah mengalami meningitis atau radang selaput otak adalah kurang dari 10%; penyakit tersebut umumnya menyebabkan kejang selama terjadinya infeksi itu sendiri. Pada ensefalitis herpes simpleks risiko timbulnya kejang berkisar 50% disertai dengan risiko tinggi timbulnya epilepsi setelahnya (mencapai 25%). Infeksi akibat cacing pita babi, yang dapat menyebabkan neurosistiserkosis, adalah penyebab lebih dari separuh kasus epilepsi di daerah dimana parasit ini banyak ditemukan. Epilepsi juga dapat terjadi setelah infeksi otak lain seperti malaria serebral, toksoplasmosis, dan toksokariasis. Penggunaan alkohol menahun meningkatkan risiko epilepsi: mereka yang minum enam unit alkohol per hari memiliki dua setengah kali lipat risiko. Risiko lainnya termasuk penyakit Alzheimer, multipel sklerosis, sklerosis tuberosa, dan ensefalitis autoimun (Bhalla, dkk., 2011 dalam Wikipedia 2014).
Sindrom
Ada sejumlah sindrom epilepsi yang biasanya dikelompokkan menurut usia pada saat awal mulanya serangan yaitu: periode neonatus, kanak-kanak, dewasa, dan serangan tanpa hubungan usia yang erat. Selain itu, ada kelompok-kelompok dengan kumpulan gejala spesifik, kelompok yang disebabkan oleh sebab-sebab metabolik atau struktural tertentu, dan kelompok yang tidak diketahui penyebabnya. Pengklasifikasian sebab epilepsi ke dalam suatu sindrom tertentu lebih sering terjadi pada anak-anak. Beberapa tipe tersebut antara lain: epilepsi Roland benigna (2,8 per 100.000), epilepsi absans anak-anak (0,8 per 100.000) dan epilepsi mioklonik juvenil (0,7 per 100.000). Kejang demam dan kejang neonatal benigna bukanlah jenis dari epilepsi. (National Institute for Health and Clinical Excellence, 2012 dalam Wikipedia, 2014).
Klasifikasi dan Penyebab
Kejang epileptik secara umum diklasifikasikan berdasarkan onsetnya yaitu fokal (parsial) atau menyeluruh (generalisata). Kejang parsial di subklasifikasikan menjadi (Ginsberg, 2008):
• Kejang parsial sederhana, kesadaran masih ada selama serangan,
• Kejang parsial kompleks, kesadaran terganggu pada setiap tahap.
Kejang parsial dapat berkembang menjadi generalisata (kejang generalisata sekumder), terjadi penurunan kesadaran dengan bukti klinis penyebaran melalui korteks serebri, misalnya gerakan konvulsif bilateral. Klasifikasi epilepsi yang lebih detil dalam kategori yang luas ini, berdasarkan karakteristik klinis dan EEG diberikan dalam gambar di bawah ini (Ginsberg, 2008).
Epilepsi juga dapat dibagi berdasarkan penyebabnya, idiopatik (sebagian besar pasien) atau simptomatik, yang dapat dikenali penyebabnya. Penyebab epilepsi simptomatik tertulis pada tabel di bawah ini. Epilepsi idiopatik sering kali menunjukkan predisposisi genetik.
Tabel 1. Penyebab-penyebab pada epilepsi simptomatik
Bayi
Trauma Persalinan
Perdarahan intrakranial
Hipoksia
Hipoglikemia
Hipokalsemia
Anak-anak Anomali Kongenital
Sklerosis tuberosa
Penyakit penimbunan metabolik
Dewasa muda Cedera kepala
Obat-obatan dan alkohol
Dewasa usia pertengahan Tumor serebri
Usia lanjut Penyakit serebrovaskular
Penyakit degeneratif (Alzheimer, penyakit prion)
Tidak semua penyebab di atas harus terjadi sesuai golongan usia tertentu; misalnya tumor dapat terjadi di semua usia.
Beberapa penyebab tidak terbatas pada kelompok usia tertentu.
Infeksi seperti meningitis, ensefalitis, abses, sistiserkosis.
Inflamasi – sklerosis multipel (jarang), vaskulitis.
Ensefalopati metabolik.
Klasifikasi Kejang menurut Price, Sylvia A (2005)
Klasifikasi Karakteristik
PARSIAL Kesadaran utuh walaupun mungkin berubah; fokus di satu bagian tetapi dapat menyebar ke bagian lain.
Parsial sederhana • Dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral), sensorik (merasakan, membaui, mendengar sesuatu yang abnormal), autonomik (takikardia, bradikardia, takipneu, kemerahan, rasa tidak enak di epigastrium), psikik (disfagia, gangguan daya ingat).
• Biasanya berlangsung kurang dari 1 menit.
Parsial kompleks Dimulai dari kejang parsial sederhana; berkembang menjadi perubahan kesadaran yang disertai oleh:
• Gejala motorik, gejala sensorik, otomatisme (mengecap-negecapkan bibir, mengunyah, menarik-narik baju)
• Beberapa kejang parsial kompleks mungkin berkembang menjadi kejang generalisata.
• Biasanya berlangsung 1-3 menit.
GENERALISATA Hilangnya kesadaran; tidak ada awitan lokal; bilateral dan simetrik; tidak ada aura.
Tonik-Klonik Spasme tonik-klonik otot, inkontinensia urin dan alvi; menggigit lidah, fase pascaiktus.
Absence Sering salah mendiagnosa sebagai melamun.
• Menatap kosong, kepala sedikit lunglai, kepala bergetar, atau berkedip secara cepat; tonus postural tidak hilang.
• Berlangsung beberapa detik.
Mioklonik Kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas di beberapa otot atau tungkai; cenderung singkat.
Atonik Hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh (drop attacks).
Klonik Gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal atau multipel di lengan, tungkai atau torso.
Tonik Peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas; fleksi lengan dan ekstensi tungkai.
• Mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi
• Dapat menyebabkan henti nafas
Klasifikasi Epilepsi menurut Ngastiyah (2005):
a. Epilepsi parsial
Dapat bermanifestasi dengan gejala-gejala dasar ataupun kompleks. Epilepsi parsial dengan gejala-gejala dasar adalah yang mencangkup gejala-gejala motorik atau sensorik. Pada epilepsi parsial sederhana, hanya satu jari atau tangan yang bergetar, atau mulut dapat tersentak tak terkontrol. Individu ini bicara yang tidak dapat dipahami, pusing, dan mengalami sinar, bunyi, ban, atau rasa tidak umum atau tidak nyaman (Ngastiyah, 2005).
Epilepsi parsial yang kompleks melibatkan gangguan fungsional serebral pada tingkat yang lebih tinggi, seperti proses ingatan dan proses berpikir, individu tetap tidak bergerak atau bergerak secara otomatis tetapi tidak tepat dengan waktu dan tempat, atau mengalami emosi yang berlebihan yaitu takut, marah, kegirangan, atau peka rangsang. Fokus epileptik pada epilepsi jenis ini sering kali pada lobus temporalis (Ngastiyah, 2005).
b. Kejang umum
Grandmal. Grandmal adalah sejenis epilepsy yang paling sering dijumpai pada anak. Menurut klasifikasi internasional grandmal primer disebut sebagai generalized seizures, bilateral symmetrical seizures without local onset, type tonic clonic seizures. Pada jenis grandmal primer, pasien tidak ingat atau tidak tahu adanya serangan sejak semula. Sejak permulaan serangan pasien telah kehilangan kesadaran. Pada keadaan yang khas, serangan dimulai dengan kejang tonik yang kemudian disusul oleh kejang klonik. Pada fase tonik, badan pasien menjadi kaku dalam sikap opistotonus. Bila ia sedang berdiri pada saat serangan, ia akan terjatuh seperti benda mati. Lengan dalam keadaan sikap fleksi atau ekstensi, biasanya dalam sikap fleksi. Tungkai dalam sikap ekstensi. Bila kejang tonik ini kuat udara dikeluarkan dengan kuat dari paru melalui pita suara sehingga trdengar bunyi yang disebut jerit epilepsi (epileptic cry). Fase tonik ini biasanya berlangsung 20-60 detik kemudian disusul fase klonik. Selama fase klonik pasien menderita sianosis karena pernapasan terhenti dan terdapat pula kongesti vena. Pada fase klonik terjadi kejang umum yang melibatkan semua anggota gerak dan otot-otot pernapasan serta otot rahang. Terjadilah gerak bernapas stertorus dan keluar busa dari mulut. Lidah dapat tergigit saat kejang ini. Pasien dapat ngompol karena otot sfingter kandung kemih ikut kontraksi (Ngastiyah, 2005).
Epilepsi jenis grandmal dapat berupa primer atau sekunder. Sekunder, berarti sebelumnya pasien menderita jenis epilepsy lain. Bentuk grandmal merupakan serangan yang terberat. Kejang fokal bila rangsangannya cukup kuat akan menjadi bangkitan grandmal. Bila pasien terbaring pada permukaan yang keras dan kasar, kejang klonik tersebut dapat mengakibatkan luka-luka; gerakan kepala yang terantu-antuk dapat menyebabkan luka. Biasanya fase klonik ini berlangsung sekitar 40 detik tetapi dapat juga lebih lama. Setelah fase klonik, pasien terbaring dalam keadaan koma; pupil agak lebar dengan reaksi cahaya yang lambat, refleks kornea negative, pasien tidak member jawaban atas rangsangan nyeri dan didapatkan refleks patologik bilateral. Fase koma biasanya berlangsung kira-kira 1 menit, setelah itu pasien tertidur yang dapat berlangsung selama 2-3 jam. Jika pada saat tidur ini pasien dibangunkan ia mengeluh sakit kepala dan ada yang tampak bengong dalam keadaan disorientasi. Lama keadaan bengong berbeda-beda. Ada pasien yang segera pulih setelah beberapa menit serangan selesai, yang lain sampai beberapa jam atau hari. Sebagian besar mengeluh sakit kepala setelah serangan sampai satu atau dua hari, dan berkurang setelah tidur. Pada serangan grandmal terjadi gangguan autonom, didapatkan peningkatan simpatis dengan pelepasan epinefrin, yang menyebabkan terjadinya takikardia, peninggian tekanan darah, midriasis. Produksi air liur bertambah dan bila ini disertai kesukaran bernapas maka terlihat berbusa pada mulut pasien (Ngastiyah, 2005).
Bangkitan local atau bangkitan parsial baik yang sederhana maupun yang kompleks dapat berkembang menjadi grandmal bangkitan sekunder. Pada grandmal selalu didahului adanya “aura” yang dirasakan oleh pasien sebelum serangan terjadi dan kesadaran menghilang. Bentuk aura dapat berbeda-beda bergantung letak fokusnya; dapat berupa perasaan takut, halusinasi dari indra pencium, pengecapan, penglihatan, merasa mual dan perut seperti naik, merasa aneh di satu anggota gerak atau bagian dari badan dan sebagainya. Pada grandmal dapat pula dijumpai masa prodromal, yaitu beberapa jam atau beberapa hari sebelumnya terdapat misalnya perubahan tingkah laku seperti marah-marah, mudah tersinggung, selalu tegang dan sebagainya. Grandmal merupakan kejang umum yang terdiri dari fase tonik dan fase ronik. Pada kejang umum jenis klonik pasien menjadi tidak sadar tanpa didahului oleh fase tonik. Setelah fase klonik selesai pasien tertidur (Ngastiyah, 2005).
Petit mal. Petit mal disebut juga sebagai kejang detik). Pada serangan epilepsy murni (typical absence) atau simple absence . Bangkitan berlangsung singkat hanya beberapa detik (5-15 detik). Pada serangan epilepsy jenis petit mal yang terlihat sebagai berikut (Ngastiyah, 2005) :
1. Pasien tiba-tiba berhenti melakukan apa yang sedang ia lakukan (missalnya makan, membaca, berbicara, dan lain-lain)
2. Ia memandang kosong, melongo (staring). Pada saat ini tidak bereaksi bila diajak berbicara atau bila dipanggil karena ia tidak sadar.
3. Setelah beberapa detik ia kemudian sadar dan meneruskan lagi apa yang sedang ia lakukan sebelum serangan terjadi.
Pada serangtan petit mal selain terdapat kehilangan kesadaran dan melongo, dapat juga dijumpai mata berkedip dengan frekuensi 3 kali perdetik. Waktu serangan terjadi (kesadaran menurun) pasien tidak jatuh hanya agk terhuyung. Tidak didapatkan inkontinensia urine dan juga tidak terdapat “aura”. Dari segi klinis dinyatakan sukar untuk membedakannya dengan jenis serangan lain yang ditandai oleh menurunnya kesadaran tanpa adanya gerak kejang. Kebanyakan pasien demikian merupakan pasien epilepsy lobus temporal. Untuk menentukan diagnosis epilepsy jenis petit mal ini berdasarkan atas 2 hal yaitu gambaran klinis serta rekaman EEgyang mengandung “spike and wave”dengan frekuensi 3 kali per detik (Ngastiyah, 2005).
Petit mal merupakan jenis epilepsy yang jarang dijumpai. Bila ada biasanya didapatkan pada anak setelah umur 3 tahun dan mulai pada umur 4-12 tahun. Pada umur 20 tahun kira-kira 75% tidak mengalami serangan lagi; tetapi 50 % pasien petit mal berubah menjadi grandmal. Pperubahan biasanya mulai pada umur 10-13 tahun. Sebagian petit mal dapat berllanjut sampai dewasa walau frekuensi serangan jauh berkurang. Frekuensi serangan epilepsy petit mal bervariasi dari 2 atau 3 bulan sampai beberapa ratus kali dalam sehari. Bila serangan banyak dalam satu hari keadaan mental dapat terganggu karena frekuensi kesadaran menurun. Anak umumnya mengalami kesukaran dalam menerima pelajaran. Prognosis baik bila serangan mulai pada usia muda, dengan riwayat keluarga yang positif dengan intelegensi yang normal serta tidak dijumpai adanya deficit neurologic lainnya. Livingston dkk. berkesimpulan bahwa walaupun petit mal sendiri mempunya prognosis yang baik, tetapi pada kenyataannya muncul menjadi grandmal sering. Mereka berpendapat bahwa timbulnya serangan grandmal dapat dikurangi/dicegah secara bermakna bila diberikan pengobatan fenobarbital. Akan lebih berarti bila bersama-sama dengan obat untuk petit mal seperti trimedion atau etosuksimid. Jika petit mal mulai usia yang lebih lanjut misalnya setelah umur 10 tahun, kemungkinan mendapat epilepsy jenis lain lebih besar. Factor keturunan mempunyai peranan besar pada petit mal (Ngastiyah, 2005).
Status petit mal. Bila serangan epilepsy terjadi bertutrut-turut atau beruntun, dan serangan berikutnya telah mulai sebelum pasien pulih dari serangan sebelumnya, hal ini disebut status epileptikus (bangkita epilepsy beruntun). Diperkirakan 3% dari pasien petit mal pernah mengalami status petit mal (serangan beruntun tanpa pulih lebih dahulu). Pada serangan status petis mal ini pasien tidak memandang kosong tetapi dalam keadaan bengong, dalam keadaan disorientasi. Kesadaran tidak menghilang hanya menurun dan reaksinya lambat. Misalnya pasien ditanya dan diminta melakukan sesuatu, jawabannya lamban dan reaksinya lamban dibanding biasanya. Jika disuruh mengerjakan sesuatu banyak salah atau lupa. Status petit mal dapat berlangsung sampai 24 jam atau lebih, tetapi pada umumnya hanya beberapa menit. Bila telah diperiksa keadaan EEG dan ternyata petit mal dan diberikan pengobatan umumnya baik (Ngastiyah, 2005).
Spasme infantile. Infantile spasme ditandai oleh serangan yang berbentuk spasmus yang massif dari otot-otot badan. Didapatkan fleksi dari badan dan anggota gerak bawah dengan abduksi serta fleksi dari lengan. Terdapat gerakan kejutan dari otot fleksor ekstremitas dan kepala. Gerak kejut ini berlangsung singkat tetapi dapat berulang beberapa kali berturu-turut. Kadang kejutan ini disertai jeritan dari pasien sehingga orang tua mengura anaknay kesakitan. Juga dapat terjadi kejutan otot ekstensor (Ngastiyah, 2005).
Banyak sebutan lain dari spasme infantile spasm ini diantaranya sindrom west, infantile myoclonic encephalopathy, bangkitan salam (salam spells, salam spasm)/. Menurut gambaran EEG-nya, jenis ini disebut epilepsy jenis hipsaritmia. Bangkitan mulai umur 3 bulan sampai dua tahun. Dari pengalaman dikemukakan oleh ibunya bahwa anaknya sering membuat gerakan terkejut tanpa ada rangsangan. Ada yang menyangka sakit perut karena sering tiba-tiba mengangkat (fleksi) tungkainya. Gerak kejut ini umumnya terjadi pada waktu bangaun atau hendak tidur. Untuk memastikan diagnosis akan lebih mudah setelah dilakukan EEG dan menunjukkan kelainan yang khas, gelombang lambat bervoltase tinggi yang tidak teratur dengan gelombang paku multifocal. Infantil spasm biasanya menunjukkan adanya kerusakan yang luas dan difus di dalam otak yang dapat disebabkan bermacam-macam penyebab, misalnya anoksia otak yang berat, hipoglikemia, tuberous sclerosis, penyakit-penyakit metabolic, degenerative atau cacat anatomic pada otak. Sering pula bayi mempunyai riwayat kelahiran dan prenatal yang patologis. Prognosis pasien spasme infantilsuram terutama di bidang mental. GIBBS dkk. Mendapatlkan 87% pasien ini menderita retardasi mental. Didapatkan kecenderungan bahwa serangan akan mengurang/menghilang bila bayi bertambah besar; juga gambaran EEG akan berubah (Ngastiyah, 2005).
Penyakit-Penyakit yang Menyerupai Epilepsi
Sinkop. Pasien dengan sinkop biasanya mengalami gejala-gejala seperti berikut sebelum ia kehilangan kesadaran: merasa badannya dingin atau panas dan berkeringat dingin; telinga berdengung; pandangan kabur atau benda yang dilihatnya tampak hitam. Ia merasa pusing. Jarang sekali pasien jatuh pingsan tanpa didahului oleh aura. Bila pingsan terjadi tanpa gejala-gejala pendahuluan diagnosis sinkop harus diragukan. Dari orang lain yang melihatnya dapat mengatakan bahwa sebelum pasien jatuh pasien tampak pucat dan lemas. Sesekali terlihat bila ambang kejangnya terlampaui oleh hipoksia otak, ada gerak kejang pada tungkai atau lengan. Setelah beberapa detik serangan pasien pulih kembali tapi sering tampak bengong untuk beberapa saat dan merasa capai. Serangan sinkop hamper selalu terjadi ketika pasien dalam sikap berdiri atau tegak. Factor pencetus dapat bermacam-macam misalnya lama berdiri (ketika mengikuti upacara), melihat darah, rasa nyeri (takut suntikan), keadaan sedih (melihat salah satu orang tuanya meninggal) dan sebagainya (Ngastiyah, 2005).
Sinkop adalah menghilangnya kesadaran sepintas yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otak. Sebelum kesadaran menghilang di dapatkan gejala pendahuluan berupa rasa lemah, penglihatan gelap, keringat dingin, rasa tidak enak di perut, dan pucat. Penyebab sinkop bermacam-macam. Tiap kelainan yang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak secara mendadak dapat mengakibatkan terjadinya sinkop. Penyebab yang sering ialah refleks vascular yang abnormal, kegagalan refleks simpatis dan penyakit jantung . sinkop, apapun penyebabnya selalu disertai penurunan tekanan darah yang hebat ( sampai nol atau sangat rendah). Dalam hal demikian mekanisme autoregulasi pembuluh darah di otak tidak dapat bekerja secara efektif dan mengakibatkan terhentinya atau berkurangnya aliran darah ke otak (Ngastiyah, 2005).
Jenis sinkop yang sering ditemukan ialah sinkop vasovagal dan sinkop postural (hipotensi ortostatik). Ada dua komponen yang berperan dalam sinkop vasovagal, yaitu melambatnya denyut jantung karena pengaruh vagus dan adanya vasodilatasi di otot rangka, organ internal dan pembuluh darah splanchnik. Tetapi yang paling utama pengaruh vasodilatasi, berkurangnya tahanan di pembuluh darah perifert terutama di otot rangka (Ngastiyah, 2005).
Hipotensi ortoststik dapat menyebabkan sinkop jika tekanan darah turun banyak. Berdiri lama(waktu upacara); bangun dari tempat tidur setelah lama berbaribg karena suatu penyakit juga dapat menyebabkan sinkop. Untuk membedakan sinkop dan epile[psi dapat dengan melakukan anamnesis dan aloanamnesis yang baik. Selain itu, serangan epilepsy dapat terjadi pada setiap sikap badan, sedangkan sinkop hanya pada waktu sikap tegak (umumnya). Pada sinkop tekanan darah rendah; pada epilepsy tekanan darah naik/normal (Ngastiyah, 2005).
Selain sinkop masih ada beberapa kelainan yang sering menyebabkan gangguan kesadaran/ menghilangnya kesadaran sebentar diantaranya ialah (Ngastiyah, 2005) :
a. Serangan napas-terhenti-sepintas (serangan apnea sepintas),
Serangan ‘berhenti bernafas’ (breath holding spells) yaitu suatu manifestasi ‘anxiety’ dan ‘rage’ karena nyeri keras atau karena menangis secara intensif (Sidharta, 2008).
b. Serangan jantung-terhenti-sepintas,
Anak-anak dengan Tetralogi Fallot dapat memperlihatkan serangan tersebut (Sidharta, 2008).
c. Gangguan tidur/narkolepsi,
d. Migren. Kelainan ini sering disalah artikan sebagai epilepsy jenis lobus temporal. Migren merupakan gejala yang ditandai oleh nyeri kepala vascular yang berulang, biasanya unilateral disertai mual, anoreksia, dapat pula disertai gangguan sensorik, motorik, psikik dan sering ditemukan factor hereditas. Pada pasien migren umumnya keluhan lain seperti: mual, muntan, tidak enak diperut. Pada anak gambaran migren dapat bermacam-macam. Contoh, seorang anak berumur 8 tahun sedang bermain; ia berhenti bermain, tampak pucat. Ia mengeluh sakit kepala,merasa tak enak diperut, kadang-kadang disertai nausea; setelah ia tidur, anak merasa sehat kembali dan dapat bermain lagi. Pada anak yang lebih muda, gejala migren tidak mengeluh adanya sakit kepala tetapi sakit perut lebih menonjol kadang disertai muntah. Serangan biasanya mendadak tanpa pencetus, anak tampak sakit, pucat. Bila anak sering mendapatkan serangan demikian p[erlu dicari kemungkinan lain secara migren. Rekaman EEG biasanya berbagai jenis epilepsy normal. Aura pada migren berlangsung lebih lama daripada epilepsy. Biasanya pada keluarga terdapat juga riwayat migren (Ngastiyah, 2005).
Diketahui ada berbagai jenis epilepsi. Secara garis besar pasien epilepsi selalu mengalami kejang dan kejang tersebut dapat dibagi menjadi kejang fokal (parsial) dan kejang umum. Dengan melihat sendiri pada saat serangan/ kejang dan anamnesis kepada keluarga, agaknya dugaan bahwa anak menderita epilepsy lebih mudah. Pertolongan pada saat kejang sama dengan pasien kejang lainnya, selanjutnya diperlukan pemeriksaan laboratorim dan lainnya (Ngastiyah, 2005).
3. Patofisiologi Epilepsi
Adanya predisposisi yang memungkinkan gangguan pada sistem listrik dari sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak akan menjadikan sel-sel tersebut memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara berulang, dan tidak terkontrol (disritmia). Aktivitas serangan epilepsi dapat terjadi sesudah suatu gangguan pada otak dan sebagian ditentukan oleh derajat dan lokasi dari lesi. Lesi pada mesensefalon, thalamus, dan korteks serebri kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi pada serebelum dan batang otak biasanya tidak menimbulkan serangan epilepsy (Muttaqin, 2008).
Pada tingkat membran sel, neuron epileptik ditandai oleh fenomena biokimia tertentu. Beberapa diantaranya adalah ketidakstabilan membran sel saraf sehingga sel lebih mudah diaktifkan. Neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun, sehingga mudah terangsang, dan terangsang secara berlebihan. Situasi ini akan menyebabkan kondisi yang tidak terkontrol, pelepasan abnormal terjadi dengan cepat, dan seseorang dikatakan menuju kea rah epilepsi. Gerakan-gerakan fisik yang tidak teratur disebut kejang. Akibat adanya disritmia muatan listrik pada bagian otak tertentu ini memberikan manifestasi pada serangan awal kejang sederhana sampai gerakan konvulsif memanjang dengan penurunan kesadaran (Muttaqin, 2008).
Status epileptikus menimbulkan kebutuhan metabolik besar dan dapat memengaruhi pernapasan. Terdapat beberapa kejadian henti napas pada puncak setiap kejang yang menimbulkan kongesti dan hipoksia otak. Episode berulang anoksia dan pembengkakan serebral dapat menimbulkan kerusakan otak janin yang tidak reversibel dan fatal. kesadaran (Muttaqin, 2008).
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara tepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian “mengajak” neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersama-sama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak (Selzer dan Dichter, 1992 dalam Raharjo, 2007)
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah: Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel (intraseluler), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium (Chandra, 1993 dalam Raharjo, 2007).
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi (Widiastuti, 2001 dalam Raharjo, 2007).
1) Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin) kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2) Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA (gamma aminobutyric acid) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan (Budiarto, 1999 dalam Raharjo, 2007).
Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat) berlebihan (Budiarto, 1999 dalam Raharjo, 2007).
Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai (Joesoef, 1997 dalam Raharjo, 2007).
Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan (Joesoef, 1997 dalam Raharjo, 2007).
Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama (Meliala, 1999 dalam Raharjo, 2007).
4. Manifestasi Klinis
Kejang parsial dapat berkaitan dengan (Corwin, 2008):
• Gerakan wajah atau menyeringai
• Sentakan yang dimulai disalah satu bagian tubuh, yang dapat menyebar
• Pengalaman sensorik berupa penglihatan, bau atau suara
• Kesemutan
• Perubahan tingkat kesadaran
Kejang umum dapat berkaitan dengan (Corwin, 2008):
• Ketidaksadaran, biasanya ditandai dengan jatuh, kecuali pada masa kanak-kanak tidak ada kejang
• Refleks pada lengan dan tungkai yang tidak terkontrol
• Periode apnea yang singkat (henti nafas)
• Salivasi dan mulut berbusa
• Menggigit lidah
• Inkontinensia
• Stadium postictal berupa stupor atau koma diikuti oleh kebingungan, sakit kepala dan keletihan
• Prodroma dapat terjadi pada setiap jenis kejang. Prodroma adalah perasaan atau gejala tertentu yang dapat mendahului kejang selama beberapa jam atau beberapa hari
• Aura dapat terjadi pada setiap jenis kejang. Aura adalah sensasi sensorik tertentu yang sering atau selalu timbul sesaat menjelang kejang
5. Komplikasi Epilepsi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh epilepsi yaitu (Corwin, 2008):
• Kerusakan otak akibat hipoksia dan retardasi mental dapat terjadi setelah kejang yang berulang.
• Depresi dan ansietas dapat terjadi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, isolaso social jangkau panjang dapat terjadi.
6. Penatalaksanaan Epilepsi
Pertolongan pertama
Memposisikan penderita dengan kejang tonik klonik aktif pada posisi bertumpu pada sisi badan dan pada posisi pulih akan membantu mencegah cairan masuk ke paru-paru. Meletakkan jari, kotak gigitan atau penekan lidah di mulut tidak disarankan karena dapat menyebabkan penderita muntah atau menyebabkan penolong tergigit. Usaha-usaha yang ada harus dilakukan agar penderita tidak mencederai diri sendiri. Tindakan pencegahan cedera tulang belakang biasanya tidak diperlukan (Emergency Medical Clinic, 2011 dalam Wikipedia, 2014).
Bila kejang berlangsung lebih dari 5 menit atau terjadi dua atau lebih kejang dalam satu jam tanpa proses pemulihan ke keadaan normal di antaranya maka keadaan ini dianggap sebagai darurat medis yang dikenal sebagai status epileptikus. Kondisi ini memerlukan pertolongan medis agar jalan napas tetap terbuka dan terlindung; jalan napas nasofaringeal akan sangat membantu pada keadaan ini. Untuk di rumah, pengobatan awal yang diberikan pada kejang dengan durasi yang lama adalah midazolam yang diletakkan di mulut. Diazepam dapat juga diberikan dalam bentuk sediaan secara rektal. Di rumah sakit, pemberian lorazepam secara intravena lebih disukai. Bila dua dosis benzodiazepine tidak efektif, penggunaan obat lain yang dianjurkan adalah fenitoin. Status epileptikus konvulsif yang tidak memberikan respon terhadap penanganan awal biasanya memerlukan perawatan di unit gawat darurat dan perawatan dengan senyawa yang lebih kuat seperti tiopenton atau propofol (National Institute for Health and Clinical Excellence, 2012 dalam Wikipedia, 2014).
Menurut Yuliana pertolongan pertama pada pasien kejang adalah sebagai berikut:
1) Jangan takut, jangan panik, utamakan keselamatan dan bertindak tenang
a. Pindahkan barang-barang berbahaya yang ada di dekat penyandang
b. Jangan pindahkan penyandang kecuali berada dalam bahaya
c. Longgarkan kerah kemeja atau ikat pinggang agar memudahkan pernafasan
2) Jangan masukkan apapun ke dalam mulut penyandang, atau benda keras di antara gigi
a. Hal ini berbahaya karena benda tersebut dapat melukai penyandang
b. Bila penyandang muntah atau mengeluarkan banyak liur, miringkan kepala penyandang ke salah satu sisi
3) Observasi kondisi kejang
a. Perhatikan keadaan kesadaran, warna wajah, posisi mata, pergerakan keempat anggota gerak, suhu tubuh
b. Perhatikan waktu saat kejang mulai, dan lamanya kejang
4) Tetap di samping penyandang sampai penyandang pulih sepenuhnya
a. Bila setelah kejang berakhir penyandang tidak ada keluhan atau kelemahan maka penyandang dapat dikatakan telah pulih
b. Bila penyandang mengalami sakit kepala, terlihat kosong atau mengantuk, biarkan penyandang melanjutkan istirahatnya
c. Jangan mencoba memberi stimulasi pada keadaan penyandang belum sepenuhnya sadar . Biarkan penyandang untuk kembali pulih dengan tenang
5) Obat supositoria (diazepam/ stesolid) dapat diberikan sebagai pengobatan untuk menghentikan kejang
Pengobatan
Epilepsi biasanya ditangani dengan pemberian obat setiap hari bila telah timbul kejang yang kedua, tetapi untuk pasien dengan risiko tinggi, pengobatan dapat dimulai segera setelah kejang yang pertama kali. Pada sejumlah kasus mungkin perlu dilakukan diet khusus, implantasi neurostimulator, atau pembedahan saraf (National Institute for Health and Clinical Excellence, 2012 dalam Wikipedia, 2014).
Menurut Dr. Yuliana obat-obat yang digunakan dalam menangani epilepsi adalah sebagai berikut:
Phenobarbital
Carbamazepine
Phenytoin
Sodium Valproate
Clobazam
Clonazepam
Lamotrigine
Topiramate
Levetiracetam
Oxcarbazepine
Acetazolamide
Penanganan andalan untuk epilepsi adalah dengan pemberian obat antikonvulsan, dengan kemungkinan pemberian seumur hidup. Pemilihan penggunaan antikonvulsan tergantung pada tipe kejang, sindrom epilepsi, pengobatan lain yang digunakan, masalah kesehatan lainnya, dan usia serta gaya hidup penderita. Pada awalnya direkomendasikan pengobatan tunggal; bila tidak efektif, direkomendasikan beralih ke pengobatan tunggal lainnnya. Dua jenis pengobatan sekaligus hanya direkomendasikan bila pengobatan tunggal tidak bekerja dengan baik. Pada kurang lebih setengahnya, agen pertama efektif; agen tunggal kedua membantu sekitar 13% dan yang ketiga atau dua agen pada waktu bersamaan mungkin memberi tambahan bantuan sebanyak 4%. Sekitar 30% dari penderita tetap mengalami kejang walaupun sudah mendapatkan penanganan dengan antikonvulsan (National Institute for Health and Clinical Excellence, 2012 dalam Wikipedia, 2014).
Terdapat berbagai pengobatan yang tersedia. Fenitoin, carbamazepin dan valproat tampaknya memberikan pengaruh yang sama pada kejang fokal dan yang umum. Pelepasan terkontrol dari carbamazepin juga tampaknya bekerja dengan baik sebagaimana pelepasan langsung carbamazepin, dan mungkin hanya memberikan sedikit efek samping. Di Inggris, carbamazepin atau lamotrigin direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama untuk kejang fokal, dengan levetirasetam dan valproat sebagai lini kedua atas pertimbangan masalah biaya dan efek sampingnya. Valproat direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama untuk kejang secara umum dengan lamotrigin sebagai pengobatan lini kedua. Pada penderita yang tidak disertai kejang, direkomendasikan penggunaan etosuksimid atau valproat; valproat pada umumnya efektif untuk kejang mioklonik dan kejang tonik atau atonik. Bila kejang telah terkontrol dengan baik dengan penaganan tertentu, biasanya tidak selalu diperlukan pemeriksaan rutin kadar obat dalam darah (National Institute for Health and Clinical Excellence, 2012 dalam Wikipedia, 2014).
Jenis antikonvulsan yang lebih ekonomis adalah fenobarbital. The World Health Organization (Organisasi Kesehatan Dunia) menjadikannya rekomendasi lini pertama di negara berkembang. (Bulletin of the World Health Organization, 2012 dalam Wikipedia 2014).
Menghentikan pengobatan secara perlahan dapat dilakukan pada penderita yang tidak mengalami kejang selama dua hingga empat tahun, namun demikian, sepertiga dari penderita mengalami kejang kembali, pada umumnya selama enam bulan pertama (National Institute for Health and Clinical Excellence, 2012 dalam Wikipedia 2014).
Tabel Obat-Obat Antikonvulsan
Tipe kejang Obat pilihan
Parsial Karbamazepin
Natrium valproat
Fenitoin
Lamotrigin
Absans Etosuksimid
Natrium valproat
Lamotrigin
Mioklonik Natrium valproat
Klonazepam
Lamotrigin
Tonik-klonik generalisata Natrium valproat
Fenitoin
Karbamazepin
Lamotrigin
Bedah
Bedah epilepsi bisa menjadi pilihan bagi mereka yang menderita kejang fokal yang tak kunjung membaik setelah ditempuhnya penanganan-penanganan lain. Penanganan lain tersebut mencakup paling tidak uji satu atau dua jenis pengobatan. Sasaran bedah adalah kendali tuntas atas kejang yang dialami oleh pasien dan ini bisa berhasil terlaksana dalam 60-70% kasus. Prosedur-prosedur yang lazim ditempuh meliputi: pemotongan hipokampus lewat reseksi lobus temporal anterior, pengangkatan tumor, dan pengangkatan sebagian neokorteks. Beberapa prosedur seperti kalosotomi korpus dilakukan dalam upaya mengurangi jumlah kejang. Setelah bedah, pengobatan sering kali bisa dikurangi secara perlahan (Duncan, 2007 Clinical medicine (London, England) dalam Wikipedia,2014).
Pencegahan
Terapi penghindaran merupakan usaha untuk meminimalkan atau menghilangkan pemicu-pemicu. Contohnya, pada penderita yang peka terhadap cahaya ada baiknya untuk menggunakan televisi berlayar kecil, menghindari permainan video, atau memakai kacamata gelap. (Verrotti, A., dkk., 2005 European journal of neurology : the official journal of the European Federation of Neurological Societies dalam Wikipedia, 2014)
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala (Sidharta, 2008)
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini (Sidharta, 2008).
Epilepsi dan kehamilan
Adalah penting dan praktis untuk mengetahui jawaban-jawaban atas pertanyaan apakah serangan epileptik mengganggu kehamilan dan bagaimana efek obat antikonvulsan terhadap kehamilan. Dalam garis besarnya dapat diberikan patokan-patokan sebagai berikut (Sidharta, 2008):
a. Konvulsi umum membahayakan kandungan karena hipoksia akan timbul pada setiap serangan konvulsi umum, maka fetus dapat mati atau perkembangannya terhalang.
b. Efek obat antikonvulsan terhadap fetus belum diketahui dengan pasti.
c. Serangan petit mal tidak menimbulkan hipoksia pada kandungan.
d. Jadi: Para penderita petit mal dan epilepsi fokal/parsial yang tidak diserang oleh konvulsi umum boleh menghentikan pemakaian obat antikonvulsi selama hamil. Tetapi para penderita epilepsi jenis apapun yang serangannya berupa konvulsi umum harus melanjutkan pemakaian obat antikonvulsi selama hamil. Bila dapat diganti, sebaiknya phenobarbital adalah yang paling ringan dan aman bagi kandungan.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN EPILEPSI
1. Pengkajian
Dasar Data Pengkajian Pasien
AKTIVITAS/ISTIRAHAT
Gejala: Keletihan, kelemahan umum.
Keterbatasan dalam beraktivitas/ bekerja yang dittimbulkan oleh diri sendiri/ terdekat pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
Tanda: Perubahan tonus/kekuatan otot.
Gerakan involunter/kontraksi otot ataupun sekelompok otot.
SIRKULASI
Gejala: Iktal: Hipertensi, peningkatan nadi, sianosis.
Posiktal: Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernapasan.
INTEGRITAS EGO
Gejala: Stensor eksternal/internal yang berhubungan dengan keadaan dan/atau penanganan.
Peka rangsang; perasaan tidan ada harapan/tidak berdaya. Perubahan dalam berhubungan
Tanda: Pelebaran rentang respon emosional.
ELIMINASI
Gejala: Inkontinensia episodik.
Tanda: Iktial: Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus stingfer. Posiktal: Otot relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia (baik urine/fekal).
MAKANAN/CAIRAN
Gejala: Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang.
Tanda: Kerusakan jaringan lunak/gigi (cedera selama kejang).
Hiperplasia gingival (efek samping pemakaian Dilantin jangka panjang).
NEUROSENSORI
Gejala: Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pingsan, pusing. Riwayat trauna kepala, anoreksia, dan infeksi serebral.
Posiktal: Kelemahan, nyeri otot, area parestase/paralisis.
NYERI/KENYAMANAN
Gejala: Sakit kepala, nyeri otot/punggung pada periode posikal.
Nyeri abnormal paroksimal selama fase iktal (mungkin terjadi selama kejang fokal/parsial tanpa mengalami penurunan kesadaran).
Tanda: Sikap/tingkah laku yang berhati-hati.
Perubahan pada tonus otot.
Tingkah laku distraksi/gelisah.
PERNAPASAN
Gejala: Fase iktal: Gigi mengatup, sianosis, pernapasan menurun/cepat; peningkatan sekresi mukus.
Fase posiktal: Apnea.
KEAMANAN
Gejala: Riwayat terjatuh/trauma, fraktur.
Adanya alergi
Tanda: Trauma pada jaringan lunak/ekimosis.
Penurunan kekuatan/tonus otot secara menyeluruh.
INTERAKSI SOSIAL
Gejala: Masalah dalam hubungan interpersonal dalam keluarga atau lingkungan sosialnya.
Pembatasan/penghindaran terhadap kontak sosial.
Pemeriksaan Diagnostik Kejang
Elektrolit : Tidak seimbang dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang.
Glukosa : Hipoglikemia dapat menjadi presipitasi (pencetus) kejang.
Ureum/kreatinin : Meningkat dapat meningkatkan risiko timbulnya aktivitas kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrotoksik yang berhubungan dengan pengobatan.
Sel Darah Merah (SDM) : Anemia aplastik mungkin sebagai akibat dari terapi obat.
Kadar obat pada serum : Untuk membuktikan batas obat antiepilepsi yang terapeutik.
Pungsi lumbal (PL) : Untuk mendeteksi tekanan abnormal dari CSS, tanda-tanda infeksi, perdarahan (hemoragik sub arakhnoid, subdural) sebagai penyebab kejang tersebut.
Foto ronsen kepala : Untuk mengidentifikasi adanya SOL, fraktur.
Elektroensefalogram (EEG) : Melokalisasi daerah serebral yang tidak berfungsi dengan baik , mengukur aktivitas otak. Gelombang otak untuk menentukan karakteristik dari gelombang pada masing-masing tipe dari aktivitas kejang.
Pemantauan video-EEG, 24 jam : Dapat mengidentifikasikan fokus kejang secara tepat.
Skan CT : mengidentifikasi letak lesi serebral, infark, hematoma, edema serebral, trauma, abses, tumor, dan dapat dilakukan dengan/tanpa kontras.
Positron Emission Tomography (PET): Mendemonstrasikan perubahan metabolik, misalnya penurunan metabolisme glukosa pada sisi lesi.
MRI : Melokalisasi lesi-lesi lokal.
Magnetoensefalogram : Memetakan impuls/potensial listrik otak pada pola pembebasan yang abnormal.
Wada : Menentukan hemisfer dominan (dilakukan sebagai evaluasi awal dari pra operasi lobektomi temporal)
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut Cappernito (1999):
1. Risiko Tinggi terhadap Inefektif Bersihan Jalan Napas yang berhubungan dengan relaksasi lidah dan refleks gangguan sekunder terhadap gangguan pada inervasi otot
2. Risiko Tinggi terhadap Isolasi Sosial yang berhubungan dengan takut merasa malu sekunder terhadap mengalami kejang di masyarakat
3. Risiko Tinggi Inefektif Penatalaksanaan Program Terapeutik yang berhubungan dengan insufisiensi pengetahuan tentang kondisi, obat, perawatan selama kejang, bahaya lingkungan, dan sumber komunitas
Diagnosa Keperawatan menurut Doengus (1999):
1. Risiko tinggi terhadap trauma/kerusakan sel otak dan penghentian nafas berhubungan dengan kejang, kelemahan progresif cepat otot-otot pernafasan.
2. Risiko tinggi terhadap bersihan jalan nafas/pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, obstruksi trakeobronkial.
3. Harga diri/ identitas pribadi, gangguan berhubungan dengan sigma berkenaan dengan kondisi, persepsi tentang tidak terkontrol.
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan informasi pada klien/keluarga terhadap perubahan status kesehatan.
Diagnosa Keperawatan menurut Arif Muttaqin (2008):
1) Risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara penanganan saat kejang, serta penurunan tingkat kesadaran.
2) Nyeri akut yang berhubungan dengan nyeri kepala sekunder respons pasca kejang (postikal).
3) Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kebingungan, malas bangun sekunderrespons pasca kejang (postikal).
4) Ketakutan yang berhubungan dengan kejang berulang.
5) Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan depresi akibat apilepsi.
3. Intervensi
a. Intervensi berdasarkan diagnosa Cappernito (1999):
Risiko Tinggi terhadap Inefektif Bersihan Jalan Napas yang berhubungan dengan relaksasi lidah dan refleks gangguan sekunder terhadap gangguan inervasi otot
Kriteria Pengkajian Fokus Makna Klinis
1. Riwayat aktivitas kejang
2. Status pernapasan selama aktivitas kejang Gerakan tonik/klonik selama kejang dapat menyebabkan lidah turun ke belakang dan mnghambat jalan nafas.
Intervensi Rasional
1. Selama kejang, lakukan hal berikut :
a. Berikan privasi, bila mungkin
b. Baringkan klien di lantai, bila mungkin
c. Setelah kejang, baringkan klien pada posisi miring
d. Kendurkan pakaian disekitar leher
e. Bila tidak memungkinkan utuk membaringkan klien dalam posisi miring, angkat dagunya ke atas dan ke depan dengan kepala mendongak ke belakang untuk membantu membuka jalan nafas 1. Tindakan ini dapat membantu menurunkan cedera dan rasa malu.
2. Observasi kejang dan dokumentasikan karakteristiknya :
a. Awitan dan durasi
b. Kejadian pra kejang (mis.,penglihatan, pendengaran, penciuman atau rangsang takut)
c. Bagian tubuh dimana kejang mulai, gerakan awal
d. Mata : terbuka dan terpejam, ukuran pupil
e. Bagian tubuh yang terlibat, tipe gerakan
f. Aktivitas motorik involunter (mis., mengecap bibir atau menelan berulang kali)
g. Inkontinensia (fekal atau urine)
h. Penurunan kesadaran
i. Paska kejang: kemampuan bicara, tidur, bingung, kelemahan, paralisis 2. Informasi ini memberi petunjuk pada lokasi focus epileptogenik pada otak dan bermanfaat dalam mengambil tindakan
3. Bila klien mengeluh aura, anjurkan dia berbaring 3. Posisi rekumben dapat mencegah cedera karena jauh
4. Ajarkan anggota keluarga atau orang terdekat cara berespon pada klien selama kejang 4. Orang lain dapat diajarkan tindakan untuk mencegah obstruksi jalan nafas dan cedera
Risiko Tinggi terhadap Isolasi Sosial yang berhubungan dengan takut akan rasa malu sekunder terhadap mengalami kejang di banyak orang
Kriteria Pengkajian Fokus Makna Klinis
1. Pola sosialisasi biasanya :
a. Hobi
b. Minat pada orang lain
c. Gereja
d. Tengga
e. Sekolah 1. Klien berisiko tinggi harus dikaji dengan cermat, karena penderitaan yang berkaitan dengan isolasi social tidak selalu cepat tampak.
2. Masalah berkenaan dengan sosialisasi 2. Perasaan penolakan dan malu adalah umum
Intervensi Rasional
1. Bantu klien mengenali kebutuhan sosialisasi 1. Klien yang cenderung kejang dapat memisahkan diri dari keluarga, teman, dan kontak social lain
2. Berikan dukungan dan validasi bahwa masalah yang dia hadapi adlah normal 2. Perawat harus sensitive terhadap dampak kejang pada citra tubuh klien, menghasilkan konsep diri, dan minat aktivitas social
3. Bantu klien mengidentifikasi aktivitas yang menyebabkan dan tidak berbahaya 3. Rasa takut akan cedera dapat menimbulkan isolasi
4. Tekankan pentingnya mematuhi rencana pengobatan 4. Kepatuhan pada regimen pengobatan dapat membantu mencegah atau mengurangi episode kejang
5. Diskusikan pengungkapan diagnosis dengan anggota keluaraga, teman, teman kerja dan kontak sosial 5. Dialog terbuka dengan orang lain dapat memberitahukan mereka terlebih dahulu tentang kemungkinan kejang, yang dapat mengurangi keterkejutan menyakitkan kejang dan memungkinkan membantu tindakan
6. Diskusikan situasi dimana klien dapat menemui orang lain pada situasi serupa:
1. Kelompok pendukung
2. Yayasan Epilepsi 6. Dengan berbagi pada orang lain dengan situasi yang serupa dapat memberi klien pandangan yang lebih realistik tentang gangguan kejang dan persepsi social
Risiko Tinggi terhadap Inefektif Penatalaksaan Regimen Terapeutik yang berhubungan dengan insufisiensi pengetahuan tentang kondisi, medikasi, perawatan selama kejang, bahaya lingkungan, dan sumber-sumber komunikasi
Kriteria Pengkajian Fokus Makna Klinis
1. Pengetahuan saat ini tentang kejang dan penatalaksanaannya
Pengkajian membantu mengidentifikasi setisp factor yang dapat mempengaruhi belajar.klien atau keluarga yang tidak mencapai tujuan pembelajaran memerlukan rujukan untuk bantuan paska pulang.
2. Factor penunjang meliputi hal berikut:
a. ansietas
b. diagnosis baru
c. kekurangan instruksi sebelumnya
3. Sumber-sumber (mis., keluarga, keuangan dan komunitas)
4. Sikap, perasaan dan masalah yang berhubungan dengan gangguan kejang
5. kesiapan dan kemampuan belajar
Intervensi Rasional
1. Ajarkan tentang gangguan kejang dan pengobatan, perbaiki miskonsepi 1. Pengertian klien dan keluarga tentang gangguan kejang dan regimen pengobatan yang diharuskan sangat mempengaruhi kepatuhan terhadap regimen.
2. Bila klien sedang dalam terapi obat ajarkan informasi berikut :
a) Jangan menghentikan obat tiba-tiba
b) Efek samping dan tanda toksisitas
c) Pentingnya untuk memantau kadar obat dalam darah.
d) Pentingnya untuk melakukan pemeriksaan. Hitung darah lengkap secara periodik, bila diindikasikan.
e) Efek difenilhidantoin (dilantin), bila diperintahkan, pada jaringan gusi dan kebutuhan pemeriksaan gigi rutin. 2. Kewaspadaan khusus harus ditekankan untuk menjamin terapi obat yang aman, efektif
a) Penghentian tiba-tiba dapat mencetuskan status epileptikus.
b) Identifikasi dini terhadap masalah memungkinkan intervensi segera untuk mencegah komplikasi serius.
c) Kadar obat dalam darah memandu penyesuaian dosis obat.
d) Penggunaan anti konvulsif jangka panjang, seperti hidantoin (mis ; fenitoin [Dilantin]) dapat menyebabkan diskrasias darah.
e) Terapi fenitoin jangka panjang dapat menyebabkan hyperplasia gusi
3. berikan informasi tentang situasi yang meningkatkan risiko kejang :
a) Minum alcohol
b) Masukan kafein berlebihan
c) Keletihan/stress berlebihan
d) Penyakit demam
e) Penyesuaian layar televise kurang baik
f) Tingkat aktivitas menonton 3. situasi tertentu telah teridentifikasi sebagai peningkat epidose kejang, meskipun mekanisme actual dibelakang situasi tersebut tidak diketahui
4. Bahas mengapa aktivitas tertentu yang berbahaya dan harus dihindari :
a) Berenang sendiri
b) Mengendarai (kecuali bebas kejang selama 1 sampai 3 tahun bergantung status )
c) Mengoperasikan mesin yang potensial berbahaya
d) Mendaki gunung
e) Pekerjaan dimana klien dapat mengalami cedera atau menyebabkan orang lain cedera
4. Umumnya, klien yang cenderung kejang harus menghindari aktivitas yang dapat menyebabkan klien atau situasi orang lain pada situasi berbahaya bila terjadi kejang.
5. Berikan kesempatan pada klien dan orang terdekat untuk mendekspresikan perasaan mereka sendiri dan saling mengekspresikan. 5. menyaksikan kejang adalah menakutkan untuk orang lain dan memalukan bagi klien yang rentan terhadap kejang. Rasa malu dan memalukan ini mempunyai dampak terhadap ansietas, depresi, bermusuhan, dan takut. Anggota keluarga juga dapat mengalami perasaan ini. Diskusi terbuka dapat mengurangi perasaan malu dan isolasi.
6. Rujuk klien dan keluarga pada sumber komunitas dan bahan bacaan untuk membantu penatalaksaan (mis ; Yayasan epilepsy, rehabilitasi okupasi ) 6. sumber ini dapat memberikan informasi tambahan dan dukungan.
b. Intervensi berdasarkan diagnosa Doengus (1999):
DIAGNOSA KEPERAWATAN : Risiko tinggi terhadap trauma/kerusakan sel otak dan penghentian nafas berhubungan dengan kejang dan kelemahan progresif cepat otot-otot pernafasan.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, masalah klien teratasi dengan kriteria:
a. Klien mengungkapkan pemahaman faktor yang menunjang kemungkinan trauma, dan/atau penghentian pernafasan dan mengambil langkah untuk memperbaiki situasi.
b. Klien mendemonstrasikan perilaku, perubahan gaya hidup untuk mengurangi faktor risiko dan melindungi diri dari cedera.
c. Klien mampu mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan.
d. Klien membantu klien untuk mempertahankan aturan pengobatan untuk mengontrol/menghilangkan aktivitas kejang.
Intervensi Rasionalisasi
Gali bersama-sama klien dan orang tua/keluarga berbagai stimulasi yang menjadi pencetus demam. Kejang demam terjadi ketika demam menyebabkan perubahan beda potensial sel neuron yang menyebabkan pelepasan muatan listrik yang besar. Jadi, pengkajian difokuskan pada area penyebab demam.
Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang terpasang dengan posisi tempat tidur rendah Mengurangi trauma saat kejang (sering/umum) terjadi selama pasien di tempat tidur.
Evaluasi kebutuhan untuk/ berikan perlindungan pada kepala.
Penggunaan penutup kepala dapat memberikan perlindungan tambahan terhadap seseorang yang mengalami kejang terus-menerus/kejang berat.
Kaji suhu menggunakan termometer dengan bahan metal atau ukur suhu melalui lubang telinga jika perlu.
Menurunkan risiko pasien menggigit atau menghancurkan termometer yang terbuat dari kaca atau kemungkinan mengalami trauma jika terjadi aktivitas kejang.
Pertahankan tirah baring secara ketat jika pasien mengalami tanfa-tanda timbulnya fase prodromal/aura. Jelaskan pentingnya tindakan ini pada klien/orang tua/keluarga.
Pasien mungkin tidak dapat beristirahat /perlu untuk bergerak atau melepaskan diri dari suatu keadaan selama fase aura, namun bergerak dengan mempedulikan diri dari keamanan lingkungan dan mudah diobservasi. Pemahaman kepentingan untuk mempertimbangkan tentang pentingnya kebutuhan keamanan diri sendiri dapat menambah keikutsertaan (kerja sama) pasien.
Minta orang tua/keluarga klien untuk tetap tinggal bersama klien dalam waktu beberapa lama selama/setelah kejang. Meningkatkan keamanan klien.
Masukkan jalan nafas buatan seperti plastik atau biarkan klien menggigit sesuatu yang lunak antara gigi (jika rahang sedang relaksasi). Miringkan kepala ke salah satu sisi/lakukan penghisapan pada jalan nafas sesuai indikasi
Menurunkan risiko terjadinya trauma mulut tetapi tidak boleh “dipaksa” atau masukkan ketika gigi-gigi sedang mengatup kuat karena kerusakan pada gigi jaringan lunak dapat terjadi. Juga membantu mempertahankan jalan nafas. Catatan : Spatel lidah dari kayu tidak boleh digunakan karena mungkin bisa rusak atau terpelintir pada mulut klien.
Atur kepala, tempatkan di atas daerah yang empuk (lunak) atau bantu meletakkan pada lantai jika keluar dari tempat tidur. Jangan melakukan restrein. Mengarahkan ekstremitas dengan hati-hati menurunkan risiko trauma secara fisik ketika klien kehilangan kontrol terhadap otot volunter. Catatan : jika dilakukan restrein pada klien yang mengalami kejang, gerakan kaku dapat meningkat dan klien dapat mengalami trauma oleh diri sendiri atau orang lain.
Catat tipe dari aktivitas kejang (seperti lokasi/ lamanya aktivitas motorik, hilang/penurunan kesadaran, inkontinensia, dll) dan berapa kali terjadi (frekuensi/kambuhannya).
Membantu untuk melokalisasi daerah otak yang terkena.
Lakukan penilaian neurologis/TTV setelah kejang, misal: tingkat kesadaran, orientasi, TD, nadi dan pernafasan.
Mencatat keadaan posiktal dan waktu penyembuhan pada keadaan normal.
Orientasikan kembali kepada orang tua/keluarga klien terhadap aktivitas kejang yang dialami anaknya. Untuk menghilangkan ansietas. Orang tua/keluarga mungkin bingung dan cemas. Klien mungkin mengalami amnesia setelah kejang dan memerlukan bantuan untuk dapat mengontrol lagi.
Observasi munculnya tanda-tanda atau gejala status epileptikus, seperti kejang tonik-klonik setelah jenis yang lain muncul dengan cepat dan cukup meyakinkan. Hal ini merupakan keadaan darurat yang mengancam hidup yang dapat menyebabkan henti nafas, hipoksia berat, dan/atau kerusakan pada otak dan sel saraf. Intervensi yang segera dibutuhkan untuk mengendalikan aktivitas kejang.
Diskusikan adanya tanda-tanda serangan kejang (jika memungkinkan) dan pola kejang yang biasa dialami klien. Ajarkan orang terdekat klien untuk mengenali tanda-tanda awal dari kejang tersebut dan bagaimana merawat klien selama dan setelah serangan kejang. Memberikan kesempatan orang tua/keluarga klien untuk melindungi klien dari trauma dan mengenali perubahan yang perlu disampaikan pada dokter/pada intervensi selanjutnya. Mengetahui apa yang harus dilakukan saat kejang terjadi dapat mencegah trauma/komplikasi dan menurunkan perasaan tak berdaya dari orang terdekat.
Berikan obat sesuai indikasi:
Obat antiepilepsi meliputi fenitoin (Dilatin), pirimidon (Mysoline), karbamazepin (Tegretol), klonazepam (Klonopin), asam valproat (Depakote).
Fenobarbital (Luminal)
Diazepam (Valium)
Glukosa, tiamin
Obat antiepilepsi meningkatkan ambang kejang dengan menstabilkan membran sel saraf, yang menurunkan eksitasi neuron melalui aktivitas langsung pada sistem limbik, talamus, dan hipotalamus. Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan penekanan terhadap aktivitas kejang dengan dosis obat-obat yang rendah dan dengan efek samping yang minimal.
Meningkatkan efek dari obat antiepilepsi dan memungkinkan untuk memberikan dosis lebih rendah untuk menurunkan efek sampingnya.
Dapat digunakan tersendiri (atau dalam kombinasi dengan fenobarbital) sebagai obat pilihan pertama untuk menekan status kejang.
Dapat diberikan untuk mempertahankan keseimbangan metabolisme jika kejang tersebut ditimbulkan oleh hipoglikemia/ alkohol.
Pantau/catat kadar obat antiepilepsi, yang berhubungan dengan efek samping dan frekuensi dari aktivitas kejang yang terjadi. Kadar terapeutik standar mungkin tidak optimal pada klien individual jika terjadi efek samping yang merugikan atau kejangnya tidak terkontrol.
Pantau kadar sel darah, elektrolit dan glukosa Mengidentifikasi faktor-faktor yang memperberat/menurunkan ambang kejang.
Siapkan untuk pembedahan/elektrolit pengganti sesuai indikasi. Stimulator saraf vegal, terapi dengan pemancaran magnetik, atau intervensi bedah lainnya (seperti; lubektomi temporal) dapat dilakukan untuk kejang yang tidak dapat diobati atau melokalisasi dengan akurat lesi epileptogenik ketika klien tidak mengatasi dan adanya risiko yang amat tinggi terhadap munculnya trauma yang serius.
DIAGNOSA KEPERAWATAN : Risiko tinggi terhadap bersihan jalan nafas/pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, obstruksi trakeobronkial, dan kerusakan persepsi/kognitif.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, masalah klien teratasi dengan kriteria:
Mampu mempertahankan pola pernafasan efektif dengan jalan nafas paten/aspirasi dicegah.
Intervensi Rasionalisasi
Lakukan penilaian neurologis/TTV setelah kejang, misal: tingkat kesadaran, orientasi, TD, nadi dan pernafasan. Untuk mengetahui gambaran status fungsional kesehatan klien, sehingga dapat mengantisipasi keadaan klien.
Ajarkan orang tua/keluarga klien untuk mengosongkan mulut dari benda/zat tertentu jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rangang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
Menurunkan risiko aspirasi atau masuknya sesuatu yang asing ke faring.
Letakkan klien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala selama serangan kejang. Meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas.
Tanggalkan pakaian pada daerah leher/dada dan abdomen. Untuk memfasilitasi usaha bernafas/ ekspansi dada.
Masukkan spatel lidah/jalan nafas buatan atau gulungan benda lunak sesuai dengan indikasi.
Jika memasukkannya diawal untuk membuka rahang, alat ini dapat mencegah tergigitnya lidah dan memfasilitasi saat penghisapan lendir atau memberi sokongan pernafasan jika diperlukan. Jalan nafas buatan mungkin diindikasikan setelah meredanya aktivitas kejang jika klien tersebut tidak sadar dan tidak dapat mempertahankan posisi lidah yang aman.
Lakukan penghisapan sesuai indikasi Menurunkan risiko aspirasi atau asfiksia.
Berikan tambahan oksigen atau ventilasi manual sesuai kebutuhan pada fase posiktal.
Siapkan untuk/bantu melakukan intubasi , jika ada indikasi. Dapat menurunkan hipoksia serebral sebagian akibat dari sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang. Catatan : ventilasi buatan selama serangan kejang umum dibatasi atau tidak menguntungkan karena dalam keadaan seperti ini tidak mungkin untuk memindahkan udara ke dalam/keluar paru selama kontraksi otot pernafasan yang amat berlebihan. Setelah kejang itu reda, fungsi pernafasan akan kembali jika tidak muncul masalah sekunder (seperti: benda asing atau terjadi aspirasi).
Munculnya apnea yang berkepanjangan pada fase posiktal membutuhkan dukungan ventilator mekanik.
DIAGNOSA KEPERAWATAN : HARGA DIRI/ IDENTITAS PRIBADI, GANGGUAN
Tujuan: Mengidentifikasi perasaan dan metode untuk kooping dengan presepsi negatif pada diri sendiri, Mengungkapkan peningkatan rasa harga diri dalam hubungannya dengan diagnosis, Mengungkapkan persepsi realistis dan penerimaan diri dalam perubahan peran dan gaya hidup
Intervensi Tujuan
Mandiri :
Diskusikan perasaan pasien mengenai diagnostik, persepsi diri terhadap tindakan yang dilakukannya. Anjurkan untuk mengungkapkan/ mengekspresikan perasaannya
Reaksi yang ada bervariasi diantara individu dan pengetahuan/ pengalaman awal dengan keadaan penyakitnya akan mempengaruhi penerimaan terhadap pengaturan pengobatan. Adanya keluhan merasa takut, marah dan sangat memperhatikan tentang implikasinya dimasa yang akan datang dapat membantu pasien menerima keadaannya.
Identifikasi/ antisipasi kemungkinan reaksi orang pada keadaan penyakitnya. Anjurkan pasien untuk tidak merahasiakan masalahnya. Memberikan kesempatan untuk berespon pada proses pemecahan masalah dan memberikan tindakan control terhadap situasi yang dihadapi. Merahasiakan sesuatu adalah dekstruksit (merusak) harga diri (potensial mengalami menyangkal), menghentikan perkembangan dalam menangani maslah dan mungkin secara aktual meningkatkan resiko trauma atau respon yang negative ketika kejang itu terjadi.
Gali bersama pasien mengenai keberhasilan yang diperoleh atau yang akan dicapai selanjutnya dan kekuatan yang dimilikinya. Memfokuskan pada aspek yang positif dapat membantu untuk menghilangkan perasaan dari kegagalan atau kesadaran terhadap diri sendiri dan membentuk pasien mulai menerima penanganan terhadap penyakitnya.
Hindari pemberian perlindungan yang amat berlebihan pada pasien, anjurkan aktivitas dengan memberikan pengawasan/ dengan memantau jika ada indikasi. Partisipasi dalam sebanyak mungkin pengalaman dapat mengurangi depresi tentang keterbatasan. Observasi/ pengawasan perlu diberikan pada beberapa aktivitas seperti latih tubuh (senam), olahraga memanjat/ panjat tebing atau olahraga air.
Tentukan sikap/ kecakapan orang terdekat. Bantu ia menyadari perasaan tersebut adalah normal, sedangkan merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri tidak ada manfaatnya. Pandangan yang negative dari orang terdekat dapat berpengaruh terhadap perasaan kemampuan/ harga diri pasien dan mengurangi dukungan yang diterima dari orang terdekat tersebut yang mempunyai resiko membatasi penanganan optimal.
Tekanan pentingnya staf/ orang terdekat untuk tetap dalam keaadaan tenang selama kejang. Ansietas dari pemberian asuhan adalah menjalar dan bila sampai pada pasien dapat meningkatkan persepsi negative terhadap keadaan lingkungan/ diri sendiri.
Intervensi Kolaborabsi:
Rujuk pasien atau orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan epilepsy dan sebagainya.
Berikan kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan dan ide-ide untuk mengatasi massalah dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.
Diskusikan rujukan kepada psikoterapi dengan pasien atau orang terdekat. Kejang mempunyai pengaruh yang besar pada harga diri seseorang dan pasien/ orang terdekat dapat merasa berdosa atas keterbatasan penerimaan terhadap dirinya dan stigma masyarakat. Konsling dapat membantu mengatasi perasaan terhadap diri sendiri.
DIAGNOSA KEPERAWATAN : Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan informasi pada klien/keluarga terhadap perubahan status kesehatan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, masalah klien teratasi dengan kriteria:
a. Klien/keluarga mengungkapkan pemahaman tentang gangguan dan berbagai rangsang yang dapat meningkatkan/berpotensial pada ativitas kejang.
b. Memulai perubahan perilaku/gaya hidup sesuai indikasi.
c. Mentaati aturan obat yang diresepkan.
Intervensi Rasionalisasi
Jelaskan kembali mengenai patofisiologi/prognosis penyakit dan perlunya pengobatan/penanganan dalam jangka waktu yang lama sesuai indikasi kepada klien dan orang tua/keluarga. Memberi kesempatan untuk mengklarifikasi kesalahan persepsi dan keadaan penyakit yang ada sebagai sesuatu yang dapat ditangani dalam cara hidup yang normal.
Tinjau kembali obat-obat yang didapat, penting sekali memakan obat sesuai petunjuk, dan tidak menghentikan pengobatan tanpa pengawasan dokter. Termasuk petunjuk untuk pengurangan dosis
Tidak adanya pemahaman terhadap obat-obat yang didapat merupakan penyebab dari kejang yang terus-menerus tanpa henti. Pasien perlu untuk mengetahui risiko timbulnya status epileptikus sebagai akibat dari menghentikan penggunaan obat antikonvulsan. Bergantung pada obat dan frekuensinya, pasien dapat diinstruksikan untuk menentukan dosis obat yang tepat.
Berikan petunjuk yang jelas pada pasien untuk minum obat bersamaan dengan waktu makan jika memungkinkan.
Dapat menurunkan iritasi lambung, mual/muntah.
Diskusikan mengenai efek samping secara khusus, seperti mengantuk, hiperaktif, gangguan tidur, hipertrofi pada gusi, gangguan penglihatan, mual/muntah, timbul ruam pada kulit, sinkope/ataksia, kelahiran yang terganggu dan anemia aplastik. Dapat mengindikasikan kebutuhan akan perubahan dalam dosis/obat pilihan yang lain, meningkatkan keterlibatan/partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan menyadari efek jangka panjang dari obat dan memberikan kesempatan untuk mengurangi/mencegah komplikasi.
Berikan informasi tentang interaksi obat yang potensial dan pentingnya untuk memberitahu pemberi perawatan yang lain dari pemberian obat terebut. Pengetahuan mengenai penggunaan obat antikonvulsan menurunkan risiko obat yang diresepkan yang dapat berinteraksi yang selanjutnya mengubah ambang kejang atau memiliki efek terapeutik, contoh; Dilantin mempunyai efek antikoagulasi dari Coumadin, sebaliknya INH dan kloromisetin meningkatkan efek dari dilantin.
Tekankan perlunya untuk melakukan evaluasi yang teratur/melakukan pemeriksaan laboratorium yang teratur sesuai dengan indikasi, seperti darah lengkap harus diperiksa minimal dua kali dalam satu tahun dan munculnya sakit tenggorok atau demam. Kebutuhan terapeutik dapat berubah dan efek samping obat yang serius (seperti agranulositosis atau tosisitas) dapat terjadi.
c. Intervensi berdasarkan diagnosa Arif Muttaqin (2008):
DIAGNOSA KEPERAWATAN : RESIKO CIDERA YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJANG BERULANG, KETIDAKTAHUAN TENTANG EPILEPSI DAN CARA PENANGANAN SAAT KEJANG, PENURUNAN TINGKAT KESADARAN
Tujuan : Klien bebas dari cidera yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran
Kriteria Hasil : Klien dan keluarga mengetahui pelaksanaan kejang, menghindari stimulus kejang, melakukan pengobatan teratur untuk menurunkan intensitas kejang.
Intervensi Rasional
Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga secara penanganan saat kejang Data dasar untuk intervensi selanjutnya.
Ajarkan klien dan keluarga tentang metode mengontrol demam. Orang tua dengan anak yang pernah mengalami kejang demam harus diinstruksikan tentang metode untuk mengontrol demam (kompres dingin, obat antipiretik).
Anjurkan untuk kontrol pasca cidera kepala. Cidera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah melalui program yang member keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cidera kepala.
Anjurkan keluarga agar mempersiapkan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang, papan pengaman, dan alat suction selalu berada dekat klien. Melindungi klien bila kejang terjadi.
Anjurkan untuk menghindari rangsangan cahaya yang berlebihan. Klien sering mengalami peka rangsang terhadap cahaya yang sangat silau.
Beberapa klien perlu menghindari stimulasi fotik (cahaya menyilaukan yang kelap-klip, menonton televise). Dengan menggunakan kaca mata hitam atau menutup slah satu mata dapat membantu mengontrol maslah ini.
Anjurkan mempertahankan tirah baring total selama fase akut. Mengurangi risiko jatuh/ terluka jika fertigo, sinkope, dan ataksia terjadi.
Kolaborasi pemberian terapi; fenitoin (Dilantin). Terapi medikasi untuk menurunkan respon kejang berulang.
DIAGNOSA : NYERI AKUT/ KRONIS
Tujuan : Melaporkan nyeri hilang/ terkontrol, Mengungkapkan metode yang memberikan penghilangan, Mendemonstrasikan penggunaan intervensi trapeutik (misalnya ketermpilan relaksasi, modifikasi perilaku) untuk menghilangkan nyeri.
Intervensi Rasional
Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lamanya serangan, factor pencetus/ yang memperberat. Minta pasien untuk menetapkan pada skala 0-10 Membantu menentukan pilihan intervensi dan memberikan dasar evaluasi terhadap terapi.
Pertahankan tirah baring selama fase akut. Letakkan pasien pada posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi: posisi terlentang dengan atau tanpa meninggikan kepala 10-30o atau pada posisi lateral. Tirah baring dalam posisi yang nyaman memungkinkan pasien untuk menurunkan spasme otot, menurunkan penekanan pada bagian tubuh tertentu dan memfasilitasi terjadinya reduksi dari tonjolan diskus.
Gunakan logroll (papan) selama melakukan perubahan posisi. Menurunkan fleksi, perputaran, desakan pada daerah belakang tubuh.
Bantu pemasangan brace/ korset. Berguna selama fase akut dari rupture diskus untuk memberikan sokongan dan membatasi fleksi/ terplintir. Pengunaan dalam jangka panjang dapat menambah kelemahan otot dan lebih lanjut menyababkan degeneratif.
Batasi aktivitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan. Menurunkan gaya gravitasi dan gerak yang dpat menghilangkan spasme otot dan menurunkan edema dan tekanan pada struktur sekitar diskus intervetebralis yang terkena.
Letakkan semua kebutuhan, termasuk bel panggil dalam batas yang mudah dijangkau/ diraih oleh pasien. Menurunkan resiko peregangan otot saat meraih.
Instruksikan pasien untuk melakukan teknik relaksasi/ visualisasi. Memfokuskan perhatian pasien, membantu menurunkan tegangan otot dan meningkatkan proses penyembuhan.
Instruksikan/ anjurkan untuk melakukan mekanika tubuh/ gerakan yang tepat. Menghilangkan atau mengurangi stress pada otot dan mencegah trauma lebih lanjut.
Berikan kesempatan untuk berbicara/ mendengar masalah pasien. Ventilasi rasa takut/ cemas dapat membantu untuk menurunkan factor-faktor stres selama dalam keadaan sakit dan dirawat. Kesempatan untuk memberikan informasi/ membetulkan informasi yang kurang tepat.
.Kolaborasi :
Berikan tempat tidur ortopedik atau letakkan papan dibawah kasur atau matras.
Memberikan sokongan dan menurunkan fleksi spinal, yang menurunkan spasme.
Berikan obat sesuai dengan kebutuhan :
Relaksan otot, seperti diazepam (Valium), karisoprodol (Soma), metkarbamol (Robaxin).
NSAID, seperti ibuprofen (Motrin, Advil), diflurisal (Dolobid), ketoprotein (Orudis), meklofenamat (Meclomen).
Analgetik, seperti asetaminofen (Tylenol) dengan kodein, meperidin (Demerol), hidrokodon (Vicodin), butorpanol (Stadol).
Merlaksasikan otot dan menurunkan nyeri
Menurunkan edema, tekanan pada akar saraf. Catatan : suntikan epidural atau gabungan obat antiinfalamasi dapat dicoba jika intervensi lain tidak mampu untuk menghilangkan nyeri.
Perlu untuk menghilangkan nyeri sedang sampai berat.
Pasang penyokong fisik seperti brace lumbal kolar servikal. Songkongan anatomis/ struktur berguna untuk meurunkan ketegangan/ spasme otot dan menurunkan nyeri.
Pertahankan traksi jika diperlukan. Pemindahan berat badan dari bagian diskus yang terkena, meningkatkan pemisahan interveterbral dan memungkinkan “lesatan diskus” tersebut untuk menggerakan saraf.
Konsultasikan dengan ahli terapi fisik. Program latihan/ peragangan yang spesifik dapat menghilangkan spasme otot dan menguatkan otot-otot punggung, ekstensor, abdomen, dan otot quadrisep untuk meningkatkan sokongan terhadap daerah lumbal.
Pasang/ pantau penggunaan kantong pendingin atau pelembab, diatermia, ultrasound. Meningkatkan sirkulasi pada daerah yang sakit, menghilangkan spasme, meningkatkan relaksasi pada pasien.
Berikan intervensi tertentu pada pasca-prosedur mielografi jika perlu, seperti jaga jangan sampai aliran cairan terlalu cepat, posisi tidur datar atau ditinggikan 30o sesuai indikasi selama beberapa jam. Menurunkan resijo terjadinya sakit/ kebocoran cairan spinal.
Bantu dengan/ persiapan untuk pemasangan TENS. Menurunkan stimulus dengan menghambat transmisi nyeri.
Rujuk ke klinik nyeri. Upaya tim yang terkordinasi meliputi baik terapi fisik maupun terapi psikologis dapat mengatasi semua aspek yang mugkin menyebabkan nyeri kronik dan memungkinkan pasien untuk meningkatkan kreativitas dan produktivitasnya.
DIAGNOSA KEPERAWATAN : KETAKUTAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEMUNGKINAN KEJANG BERULANG
Tujuan : Setelah intervensi ketakutan klien hilang/ berkurang.
Kriteria : Mengenai perasaanya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor yang mempengaruhinya dan menyatakan ketakutan berkurang/ hilang.
Intervensi Rasional
Bantu klien mengekspresikan perasaan takut. Ketakutan berkelanjutan memberikan dampak psikologis yang tidak baik.
Lakukan kerjasama dengan keluarga. Kerjasama klien dan keluarga sepenuhnya penting. Mereka harus yakin terhadap manfaat program yang ditetapkan. Harus ditekankan bahwa medikasi antikonvulsan yang diresepkan harus dikonsumsi secara terus-menerus dan bahwa ini bukan obat yang membentuk kebiasaan. Medikasi ini dapat dikonsumsi tanpa rasa takut tentang ketergantungan obat selama bertahun-tahun gunakan tanpa ketakutan akan ketergantungan obat untuk beberapa tahun jika obat-obatan tersebut diperlukan. Jika klien dibawah pengawasan perawatan kesehatan dan didampingi, maka klien melakukan instruksi dengan taat.
Hindari konfrontasi. Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerjasama, dan mungkin memperlambat penyembuhan.
Ajarkan kontrok kejang. Kontrol kejang bergantung pada aspek pemahaman dan kerjasama klien. Gaya hidup dan lingkungan dikaji untuk mengidentifikasi factor-faktor yang dapat mencetuskan kejang : gangguan emosi, stressor lingkungan baru, onset menstruasi pada klien wanita, atau demam. Klien dianjurkan untuk mengikuti gaya hidup rutin regular dan sedang, diet (menghindari stimulant berlebihan), latihan dan isntirahat. Gangguan tidur dapat menurunkan ambang klien terhadap kejang. Aktivitas sedang adalah terapi yang baik, tetapi penggunaan energy yang berlebihan dapat dihindari.
Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat. Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
Kurangi stimulus ketegangan. Keadaan tegang (ansietas, frustasi) mengakibatkan kejang pada beberapa klien. Pengklafikasian penatalaksanaan stress akan bermanfaat. Oleh karena kejang diketahui oleh asupan alkohol, maka kebiasaan ini harus dihindari. Trapi paling efektif adalah mengikuti rencana pengobatan untuk menghindari stimuli yang mencetuskan kejang.
Tingkatkan kontrol sensasi klien. Kontrol sensasi klien (dan dalam menurunkan ketakutan) dengan cara memberikan informasi tentang keadaan klien, menekankan pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri) yang positif, membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan, serta memberikan respon balik yang positif.
Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan. Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan ansietasnya. Dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhwatiran yang tidak diekspresikan.
Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat. Memberi waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan cemas, dan perilaku adaptasi.
Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih klien melayani aktivitas dan pengalihan (misalnya membaca) akan menurunkan perasaan trisolasi.
DIAGNOSA KEPERAWATAN : KOPING, INDIVIDUAL TIDAK EFEKTIF/ KONFLIK KEPUTUSAN
Tujuan : Mengidentifikasi tingkahlaku koping yang tidak efektif dan konsekuensi, Menunjukan kewaspadaan dari koping pribadi/ kemampuan memecahkan masalah, Memenuhi kebutuhan psikologis yang ditunjukan dengan mengekspresikan perasaan yang sesuai, identifikasi pilihan dan penggunaan sumber-sumber, Membuat keputusan dan menunjukan kepuasan dengan pilihan yang diambil.
Intervensi Rasional
Mandiri :
Tinjau ulang patofisiologi yang mempengaruhi pasien dan luasnya perasaan yang tidak berdaya/ tanpa harapan/ kehilangan control terhadap kehidupan tingkat ansietas.
Indikator dari tingkat disekuilibrium dan kebutuhan akan intervensi untuk mencegah atau mengatasi krisis.
Tetapkan hubungan terapeutik perawat-pasien. Pasien mungkin akan leebih bebas dalam konteks hubungan ini untuk menunjukan perasaan tidak tertolong/ tanpa tenaga dan untuk mendiskusikan perubahan yang diperlukan dalam kehidupan pasien.
Catat ekspresi keragu-raguan, ketergantungan kepada orang lain dan ketidakmampuan untuk mengatasi AKS pribadi. Mungkin menunjukan kebutuhan bersabdar kepada orang lain untuk sementara waktu. Pengenalan awal dan intervensi dapat membantu pasien memperoleh kembali ekulibrium.
Kaji munculnya kemampuan koping positif, misalnya penggunaan teknik relaksasi keinginan untuk mengekspresikan perasaan. Jika individu memiliki kemampuan koping yang berhasil dilakukan pada waktu lampau, mungkina dapat digunakan sekarang untuk mengatasi tegangan dan memelihara rasa control individu.
Dorong pasien untuk berbicara mengenai apa yng terjadi saat ini dan apa yang telah terjadi untuk mengantisipasi perasaan tidak tertolong dan ansietas. Menyediakan petunjuk untuk membantu pasien dalam mengembangkan kemampuan koping dan memperbaiki ekuilibrium.
Perbaiki kesalahan konsep yang mungkin dimiliki pasien. Menyediakan informasi factual. Membantu mengidentifikasi dan membenarkan persepsi realita dan memungkinkan dimulainya usaha pemecahan masalah.
Sediakan lingkungan yang tenang dan tidak menstimulasi. Tentukan apa yang menjadi kebutuhan pasien, dan menyediakannya jika memungkinkan. Memberikan informasi yang sederhana namun factual mengenai apa yang dapat pasien harapkan dan ulangi sesuai kebutuhan. Menurunkan ansietas dan menyediakan control bagi pasien selama situasi krisis.
Ijinkan pasien untuk mandiri pada awla dengan melakukan kembali AKS mandiri bertahap, perawatan diri dan aktivitas lainnya. Buat kesempatan bagi pasien untuk membuat keputusan mengenai keperawatan jika memungkinkan, menerima pilihan untuk tidak melakukannya. Meningkatkan perasaan aman (pasien akan mengetahui bahwa perawat akan mengusahakan keamanan). Jika kontrol tercipta, pasien akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan koping adaptif/ kemampuan memecahkan masalah.
Terima ekspresi verbal rasa marah, buat batasan terhadap tingkah laku maladaptif. Menunjukan rasa marah adalah proses yang penting untuk resolusi rasa duka dan kehilangan. Meskipun demikian, pencegahan terhadap tindakan destruktif (seperti memisahkan diri dari orang lain) akan mempertahankan harga diri pasien.
Diskusikan perasaan menyalahkan diri sendiri/ proyeksi menyalahkan orang lain. Ketika mekanisme ini dilindungi pada waktu krisis, terdapat perasaan kounter-produktif dan intensifikasi dari perasaan tidak tertolong dan tanpa harapan.
Catat ekspresi ketidakmampuan untuk menemukan arti kehidupan/ lasan untuk hidup, perasaan sia-sia atau pengasingan terhadap Tuhan. Situasi krisis mungkin membangkitkan pertanyaan mengenai kepercayaan spiritual yang dapat mempengaruhi kemampuan untuk berhadapan dengan situasi sekarang dan rencana untuk masa depan.
Solusi pemecahan masalah untuk situasi sekarang. Berikan informasi/ dukungan dan memperkuat realita pada waktu pasien mulai bertanya; lihatlah apa yang terjadi. Membantu pasien/ orang terdekat untuk mengilhami solusi yang mungkin (memberikan pertimbangan pro dan kontra bagi setiap masalah) meningkatkan perasaan control diri/ harga diri.
Identifikasi tingkah laku penanggulangan yang baru, bahwa pasien menunjukan dan memperkuat adaptasi positif. Selama krisis koma, pasien mengembangkan cara baru dalam menghadapi masalah, yang dapat membantu resolusi situasi sekarang dan juga krisis di masa depan.
4. Implementasi
Implementasi dilakukan dengan menggunakan panduan yang sesuai dengan intervensi.
5. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan memperhatikan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel. Epilepsi juga merupakan gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi.
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir. Pengklasifikasian epilepsi atau kejang ada dua macam, yaitu epilepsi parsial dan epilepsi umum.
Banyak faktor yang dapat mencederai sel-sel, saraf otak atau lintasan komunikasi antar sel otak. Beberapa faktor risiko yang sudah diketahui antara lain: trauma kepala, demam tinggi, stroke, intoksikasi (termasuk obat-obatan tertentu), tumor otak, masalah kardiovaskuler tertentu, gangguan keseimbangan elektrolit, infeksi (ensefalitis, meningitis) dan infeksi parasit terutama cacing pita. Apabila diketahui penyebabnya maka disebut epilepsi simtomatik, sedangkan apabila penyebabnya tidak diketahui disebut epilepsi idiopatik.
Manifestasi Klinis kejang parsial dapat berkaitan dengan: Gerakan wajah atau menyeringai, Sentakan yang dimulai disalah satu bagian tubuh, yang dapat menyebar, Pengalaman sensorik berupa penglihatan, bau atau suara, Kesemutan, Perubahan tingkat kesadaran. Kejang umum dapat berkaitan dengan : Ketidaksadaran, biasanya ditandai dengan jatuh, kecuali pada masa kanak-kanak tidak ada kejang; Refleks pada lengan dan tungkai yang tidak terkontrol; Periode apnea yang singkat (henti nafas); Salivasi dan mulut berbusa; Menggigit lidah; Inkontinensia; Stadium postictal berupa stupor atau koma diikuti oleh kebingungan, sakit kepala dan keletihan; Prodroma dapat terjadi pada setiap jenis kejang. Prodroma adalah perasaan atau gejala tertentu yang dapat mendahului kejang selama beberapa jam atau beberapa hari; Aura dapat terjadi pada setiap jenis kejang. Aura adalah sensasi sensorik tertentu yang sering atau selalu timbul sesaat menjelang kejang
Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika penyebabnya adalah akibat gangguan metabolisme (hipoglikemia, hipokalsemia), perbaikan gangguan metabolisme ini biasanya akan ikut menghilangkan serangan itu. Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan mencegah serangan. Ada empat obat yang ternyata bermanfaat untuk ini: fenitoin (difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik. Kebanyakan pasien dapat dikontrol dengan salah satu dari obat tersebut di atas.
Diagnosa keperawatan menurut Cappernito:
1. Risiko Tinggi terhadap Inefektif Bersihan Jalan Napas yang berhubungan dengan relaksasi lidah dan refleks gangguan sekunder terhadap gangguan pada inervasi otot
2. Risiko Tinggi terhadap Isolasi Sosial yang berhubungan dengan takut merasa malu sekunder terhadap mengalami kejang di masyarakat
3. Risiko Tinggi Inefektif Penatalaksanaan Program Terapeutik yang berhubungan dengan insufisiensi pengetahuan tentang kondisi, obat, perawatan selama kejang, bahaya lingkungan, dan sumber komunitas
Diagnosa Keperawatan menurut Doengus:
1. Risiko tinggi terhadap trauma/kerusakan sel otak dan penghentian nafas berhubungan dengan kejang, kelemahan progresif cepat otot-otot pernafasan.
2. Risiko tinggi terhadap bersihan jalan nafas/pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, obstruksi trakeobronkial.
3. Harga diri/ identitas pribadi, gangguan berhubungan dengan sigma berkenaan dengan kondisi, persepsi tentang tidak terkontrol.
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan informasi pada klien/keluarga terhadap perubahan status kesehatan.
Diagnosa Keperawatan menurut Arif Muttaqin:
1. Risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara penanganan saat kejang, serta penurunan tingkat kesadaran.
2. Nyeri akut yang berhubungan dengan nyeri kepala sekunder respons pasca kejang (postikal).
3. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kebingungan, malas bangun sekunderrespons pasca kejang (postikal).
4. Ketakutan yang berhubungan dengan kejang berulang.
5. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan depresi akibat apilepsi.
B. Saran
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada umumnya dan mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui pengertian, tindakan penanganan awal, serta mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan epilepsi. Oleh karena penyandang epilepsi sering dihadapkan pada berbagai masalah psikososial yang menghambat kehidupan normal, maka seyogyanya kita memaklumi pasien dengan gangguan epilepsi dengan cara menghargai dan menjaga privasi klien tersebut. Hal itu dilaksanakan agar pasien tetap dapat bersosialisasi dengan masyarakat dan tidak akan menimbulkan masalah pasien yang menarik diri.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan (Diagnose Keperawatan Dan Masalah Kolaboratif. Edisi 2. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilynn, Mary Frances Moorhouse, Alice C. Geissler. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.Jakarta : EGC
Ginsberg, Lionel. 2008. Lecture Notes: Neurologi Ed.8. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit : Edisi 2. Jakarta : EGC.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2008. Buku Ajar Neurologis Klinis. Ed: Harsono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed.6. Jakarta: EGC.
Raharjo, Tri Budi. 2007. Faktor-Faktor Risiko Epilepsi Padas Anak Di Bawah Usia 6 Tahun. Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf. FK UNDIP, Semarang. [internet] http://eprints.undip.ac.id/18016/1/Tri_Budi_Raharjo.pdf diakses pada 22 Oktober 2014 pukul 18.30 WITA.
Sidharta, Priguna. 2008. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta: Dian Rakyat.
Sing Health. 2014. Epilepsi. [internet] https://www.singhealth.com.sg/PatientCare/Overseas-Referral/bh/Conditions/Pages/Epilepsy.aspx diakses pada 22 Oktober 2014 pukul 18.00 WITA.
Tarwoto, dkk. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan.Jakarta : Sagung Seto.
Yuliana. TT. Epilepsi. [internet] http://www.ekahospital.com/uploads/Epilepsi-Dr.-Yuliana.pdf diakses pada 22 Oktober 2014 pukul 18.00 WITA.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan meningkatnya minat masyarakat untuk berobat, baik ke Puskesmas, rumah sakit, maupun dokter swasta, maka makin jelaslah bahwa penyakit saraf ataupun keluhan-keluhan neurologik merupakan sebagian yang tidak kecil daripada kasus-kasus yang dijumpai dalam praktek. Kemajuan yang pesat di bidang neurologi terutama mengenai diagnostik dan terapi, menyebabkan bahwa peranan neurologi dalam rangka kesehatan masyarakat makin penting. Penyakit-penyakit saraf yang dahulu mempunyai mortalitas yang tinggi atau menyebabkan invaliditas berat kini dapat diobati secara efektif, sedangkan gejala-gejala sisa penyakit saraf dapat ditanggulangi sebaik-baiknya dengan adanya kemajuan di bidang rehabilitasi dan fisioterapi (Mardjono, 2008 dalam Sidharta Priguna, 2008).
Walaupun telah dilakukan banyak penelitian dan perubahan pendekatan, perkembangan terapi epilepsi selama dasawarsa terakhir ini terasa lambat. Beberapa faktor berpengaruh terhadap perkembangan terapi efilepsi, antara lain faktor yang berasal dari penderita, obat anti-epilepsi (OAE), dan dokter yang menanganinya. Salah satu faktor yang paling menonjol adalah kekeliruan diagnosis, baik yang menyangkut epilepsi sebagai suatu sindrom maupun jenis serangannya. Kekeliruan diagnosis ini terutama terjadi pada epilepsi parsial atau yang bersifat nonkonvulsif. Secara umum, terjadinya kekeliruan diagnosis disebabkan oleh kriteria diagnosis yang didasarkan pada anamnesis (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2008).
Terapi epilepsi bersifat khas, berbeda dengan terapi terhadap gejala atau penyakit lainnya. Sifat khas tadi diwarnai oleh programminum obat dalam jangka waktu yang lama, bertahun-tahun, bahkan mungkin seumur hidup. Disamping itu, dalam perakteknya terapi epilepsy tidaklah mudah. Hal ini disebabkan anatara lain oleh banyaknya jenis epilepsi yang masing-masing memerlukan pendekatan tersendiri dan tidak jelasnya efektivitas masing-masing jenis OAE, serta adanya kecenderungan bahwa penderita bosan minum obat atau pindah-pindah dokter (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2008).
Masalah-masalah psikososial, pendidikan, pekerjaan serta masa depan, pada umumnya menghantui penderita serta keluarganya. Di lain pihak, dokter juga menghadapi masalah yang tak kalah rumitnya. Dokter dituntut untukk berfikir dan bertindak secara komperhensif: bukan sekedar menulis resep OAE, tetapi juga haru mampu menjadi penasihat dan motivator yang baik, mau mengerti segala permasalahan yang dihadapi penderita dan sekaligus mampu memecahkan masalah yang ada, serta mampu menjelaskan segala seluk-beluk epilepsi kepada penderita dan keluarga (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2008).
Sebelum memberi OAE kepada penderita, maka diagnosis epilepsi harus ditegakkan terlebih dahulu. Serangan yang bersifat tunggal tidak dapat di pakai sebagai alasan untuk menegakkan diagnosis. Baik disini dan diluar negeri, epilepsi masih merupakan suatu problema kedokteran masyarakat di luar negeri dr. A. Hopkins dan dr. G. Scambler (1997) menyimpulkan dari penyelidikan mereka, bahwa para penderita epilepsi di London dapat pengobatan yang mencerminkan kurangnya pengertian tentang epilepsi di kalangan dokter umum (Sidharta, 2008)
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi. Pemahaman epilepsi secara menyeluruh sangat diperlukan oleh seorang perawat sehingga nantinya dapat ditegakkan asuhan keperawatan yang tepat bagi klien dengan epilepsi. Berdasarkan hal tersebut, penulis menyusun makalah ini agar dapat meningkatkan pengetahuan seputar epilepsi.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah itu penyakit epilepsi?
2. Apakah penyebab dan klasifikasi dari penyakit epilepsi?
3. Bagaimana patofisiologi penyakit epilepsi?
4. Apa saja manifestasi klinis penyakit epilepsi?
5. Bagaimana penatalaksanaan penyakit epilepsi?
6. Bagaimana proses pengkajian pada pasien epilepsi?
7. Apa sajakah pemeriksaan penunjang/diagnostik untuk epilepsi?
8. Apa saja masalah keperawatan yang muncul pada pasien epilepsi?
9. Apa saja intervensi keperawatan yang dapat disusun untuk menangani masalah keperawatan yang muncul pada pasien epilepsi?
10. Bagaimana implementasi dari intervensi keperawatan dari epilepsi?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui, memahami dan mampu mengaplikasikan penanganan pasien anak dengan masalah epilepsi menggunakan pendekatan proses keperawatan, meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi yang dihubungkan dengan konsep dasar medis penyakit.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengetian penyakit epilepsi.
b. Untuk mengetahui penyebab dan klasifikasi penyakit epilepsi.
c. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit epilepsi.
d. Untuk mengetahui manifestasi klinis penyakit epilepsi.
e. Untuk mengetahui penatalaksanaan penyakit epilepsi.
f. Untuk mengetahui proses pengkajian pada pasien epilepsi.
g. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang/diagnostik untuk epilepsi.
h. Untuk mengetahui masalah keperawatan yang muncul pada pasien epilepsi.
i. Untuk mengetahui intervensi keperawatan yang dapat disusun untuk menangani masalah keperawatan epilepsi.
j. Untuk mengetahui implementasi dan evaluasi dari proses keperawatan epilepsi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP DASAR MEDIS EPILEPSI
1. Pengertian Epilepsi
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik (Tarwoto, 2008).
Epilepsy adalah gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak berat yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Keadaan ini dapat dihubungkan dengan kehilangan kesadaran, gerakan berlebihan atau hilangnya tonus otot atau gerakan dan gangguan perilaku, alam perasaan, sensasi, dan persepsi. Sehingga epilepsy bukan penyakit tetapi suatu gejala. Penyebab pasti dari epilepsy masih belum diketahui (idiopatik) dan masih menjadi banyak spekulasi (Corwin, 2008).
Status epileptikus (aktivitas kejang lama yang akut) merupakan suatu rentetan kejang umum yang terjadi tanpa perbaikan kesadaran penuh diantara serangan. Istilah ini telah diperluas untuk mencakup kejang klinis atau listrik kontinu yang berakhir sedikitnya 30 menit, meskipun tanpa kerusakan kesadaran. Keadaan ini dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis mayor (Corwin, 2008)
Forum Internasional Melawan Epilepsi dan Biro Internasional untuk Epilepsi— sebagai mitra kolaborasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)—mendefinisikan epilepsi dalam pernyataan bersama tahun 2005 sebagai “gangguan otak yang ditandai oleh predisposisi terus-menerus yang menghasilkan serangan epilepsi dan oleh adanya konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial atas kondisi ini. Definisi epilepsi mensyaratkan terjadinya paling tidak satu serangan epilepsi.” (Wikipedia, 2014).
Serangan adalah pelepasan listrik tidak normal pada sekelompok sel otak. Serangan dapat menghasilkan berbagai gejala, tergantung pada lokasi serangan terfokus dan penyebaran aktivitas listrik melalui otak. Seseorang dikatakan menderita epilepsy ketika dia mengalami lebih dari 1 episode serangan epileptik. Sedangkan status epileptikus adalah kondisi dimana seseorang mengalami: serangan terus menerus lebih dari 5 hingga 10 menit; atau serangan datang dan pergi, masing-masing berlangsung kurang dari 5 menit, tetapi tanpa memperoleh kesadaran di antara serangan (Singapore Health, 2014).
2. Etiologi dan Klasifikasi Epilepsi
Epilepsi bukanlah penyakit tunggal, melainkan suatu gejala yang dapat dihasilkan oleh sejumlah gangguan berbeda. Penyebab yang mendasari epilepsi dapat diidentifikasikan sebagai masalah genetik, struktural, atau metabolisme, namun 60% kasus epilepsi tidak diketahui sebabnya. Genetik, cacat bawaan lahir, dan gangguan perkembangan lebih umum dialami mereka yang lebih muda, sedangkan tumor otak dan stroke lebih mungkin pada orang yang lebih tua. Serangan juga dapat terjadi sebagai akibat masalah kesehatan lain; jika serangan terjadi tepat setelah adanya sebab tertentu, seperti stroke, cedera kepala, konsumsi bahan toksik, atau masalah metabolisme, serangan ini disebut kejang simtomatik akut, dan termasuk kejang-kejang dalam klasifikasi yang lebih luas bukan epilepsi. Banyak di antara sebab-sebab kejang simtomatik akut yang juga dapat mengarah pada kejang yang disebutkan belakangan, yaitu epilepsi sekunder (National Clinical Guideline Centre, 2012 dalam Wikipedia, 2014).
Genetik
Genetik diyakini ikut terlibat dalam sebagian besar kasus, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa penyakit epilepsi disebabkan oleh kerusakan gen tunggal (1-2%); sebagian besar adalah akibat interaksi beberapa gen dan faktor lingkungan. Masing-masing kerusakan gen tunggal jarang terjadi. Beberapa gen yang terlibat memengaruhi saluran ion, enzim, GABA, dan reseptor terkait protein G. Pada kembar identik, jika salah satu menderita epilepsi, ada kemungkinan 50-60% kembar lainnya juga ikut menderita epilepsi. Pada kembar non-identik, risikonya 15%. Risiko ini lebih besar pada penderita dengan kejang umum daripada kejang fokal. Jika kedua kembar tersebut menderita epilepsi, kebanyakan (70-90%) memiliki sindrom epilepsi yang sama. Kerabat dekat lainnya dari penderita epilepsi memiliki risiko lima kali lebih besar dibandingkan mereka yang tidak. Antara 1 dan 10% penderita sindrom Down dan 90% penderita sindrom Angelman menderita epilepsi. (Pandolfo dan Bhalla, 2011 Etiologies of epilepsy: a comprehensive review dalam Wikipedia, 2014)
Penjelasan tentang adanya gangguan genetik yang mendasari epilepsi umum idiopatik atau grandmal ialah sebagai berikut. Ada suatu gene yang menentukan sintesis dan metabolisma asam glutamik yang menghasilkan gamma aminobutyric acid (GABA). Zat tersebut merupakan zat penghambat kegiatan neuronal alamiah. Orang-orang yang secara genetik kurang cukup memproduksi GABA merupakan orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk mendapat epilepsi, baik epilepsi fokal maupun epilepsi umum (Sidharta, 2008).
Sekunder
Epilepsi dapat terjadi sebagai akibat sejumlah kondisi lain yang meliputi: tumor, stroke, cedera kepala, infeksi sistem saraf pusat terdahulu, abnormalitas genetik, dan sebagai akibat kerusakan otak saat persalinan. Bagi mereka yang memiliki tumor otak, hampir 30% penderitanya menderita epilepsi, yang terhitung dalam 4% penyebab kasus epilepsi. Risiko paling besar adalah pada tumor yang berada di lobus temporal dan tumor yang tumbuh secara perlahan. Lesi lain yang berupa massa seperti malformasi kavernosus serebral dan malformasi arteriovena memiliki risiko sebesar 40-60%. Mereka yang pernah mengalami stroke, sebanyak 2-4% mengalami epilepsi di kemudian hari. Di Inggris, stroke bertanggung jawab atas 15% kasus epilepsi dan hal ini diyakini bertanggung jawab atas 30% kasus epilepsi pada lanjut usia. Antara 6 hingga 20% kasus epilepsi diyakini disebabkan oleh cedera kepala. Cedera otak ringan meningkatkan risiko sekitar dua kali lipat, sedangkan cedera otak berat meningkatkan risiko hingga tujuh kali lipat. Pada mereka yang pernah mengalami luka tembak berkekuatan tinggi pada kepala, risikonya mencapai hampir 50% (Bhalla, dkk., 2011 dalam Wikipedia 2014).
Risiko epilepsi setelah mengalami meningitis atau radang selaput otak adalah kurang dari 10%; penyakit tersebut umumnya menyebabkan kejang selama terjadinya infeksi itu sendiri. Pada ensefalitis herpes simpleks risiko timbulnya kejang berkisar 50% disertai dengan risiko tinggi timbulnya epilepsi setelahnya (mencapai 25%). Infeksi akibat cacing pita babi, yang dapat menyebabkan neurosistiserkosis, adalah penyebab lebih dari separuh kasus epilepsi di daerah dimana parasit ini banyak ditemukan. Epilepsi juga dapat terjadi setelah infeksi otak lain seperti malaria serebral, toksoplasmosis, dan toksokariasis. Penggunaan alkohol menahun meningkatkan risiko epilepsi: mereka yang minum enam unit alkohol per hari memiliki dua setengah kali lipat risiko. Risiko lainnya termasuk penyakit Alzheimer, multipel sklerosis, sklerosis tuberosa, dan ensefalitis autoimun (Bhalla, dkk., 2011 dalam Wikipedia 2014).
Sindrom
Ada sejumlah sindrom epilepsi yang biasanya dikelompokkan menurut usia pada saat awal mulanya serangan yaitu: periode neonatus, kanak-kanak, dewasa, dan serangan tanpa hubungan usia yang erat. Selain itu, ada kelompok-kelompok dengan kumpulan gejala spesifik, kelompok yang disebabkan oleh sebab-sebab metabolik atau struktural tertentu, dan kelompok yang tidak diketahui penyebabnya. Pengklasifikasian sebab epilepsi ke dalam suatu sindrom tertentu lebih sering terjadi pada anak-anak. Beberapa tipe tersebut antara lain: epilepsi Roland benigna (2,8 per 100.000), epilepsi absans anak-anak (0,8 per 100.000) dan epilepsi mioklonik juvenil (0,7 per 100.000). Kejang demam dan kejang neonatal benigna bukanlah jenis dari epilepsi. (National Institute for Health and Clinical Excellence, 2012 dalam Wikipedia, 2014).
Klasifikasi dan Penyebab
Kejang epileptik secara umum diklasifikasikan berdasarkan onsetnya yaitu fokal (parsial) atau menyeluruh (generalisata). Kejang parsial di subklasifikasikan menjadi (Ginsberg, 2008):
• Kejang parsial sederhana, kesadaran masih ada selama serangan,
• Kejang parsial kompleks, kesadaran terganggu pada setiap tahap.
Kejang parsial dapat berkembang menjadi generalisata (kejang generalisata sekumder), terjadi penurunan kesadaran dengan bukti klinis penyebaran melalui korteks serebri, misalnya gerakan konvulsif bilateral. Klasifikasi epilepsi yang lebih detil dalam kategori yang luas ini, berdasarkan karakteristik klinis dan EEG diberikan dalam gambar di bawah ini (Ginsberg, 2008).
Epilepsi juga dapat dibagi berdasarkan penyebabnya, idiopatik (sebagian besar pasien) atau simptomatik, yang dapat dikenali penyebabnya. Penyebab epilepsi simptomatik tertulis pada tabel di bawah ini. Epilepsi idiopatik sering kali menunjukkan predisposisi genetik.
Tabel 1. Penyebab-penyebab pada epilepsi simptomatik
Bayi
Trauma Persalinan
Perdarahan intrakranial
Hipoksia
Hipoglikemia
Hipokalsemia
Anak-anak Anomali Kongenital
Sklerosis tuberosa
Penyakit penimbunan metabolik
Dewasa muda Cedera kepala
Obat-obatan dan alkohol
Dewasa usia pertengahan Tumor serebri
Usia lanjut Penyakit serebrovaskular
Penyakit degeneratif (Alzheimer, penyakit prion)
Tidak semua penyebab di atas harus terjadi sesuai golongan usia tertentu; misalnya tumor dapat terjadi di semua usia.
Beberapa penyebab tidak terbatas pada kelompok usia tertentu.
Infeksi seperti meningitis, ensefalitis, abses, sistiserkosis.
Inflamasi – sklerosis multipel (jarang), vaskulitis.
Ensefalopati metabolik.
Klasifikasi Kejang menurut Price, Sylvia A (2005)
Klasifikasi Karakteristik
PARSIAL Kesadaran utuh walaupun mungkin berubah; fokus di satu bagian tetapi dapat menyebar ke bagian lain.
Parsial sederhana • Dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral), sensorik (merasakan, membaui, mendengar sesuatu yang abnormal), autonomik (takikardia, bradikardia, takipneu, kemerahan, rasa tidak enak di epigastrium), psikik (disfagia, gangguan daya ingat).
• Biasanya berlangsung kurang dari 1 menit.
Parsial kompleks Dimulai dari kejang parsial sederhana; berkembang menjadi perubahan kesadaran yang disertai oleh:
• Gejala motorik, gejala sensorik, otomatisme (mengecap-negecapkan bibir, mengunyah, menarik-narik baju)
• Beberapa kejang parsial kompleks mungkin berkembang menjadi kejang generalisata.
• Biasanya berlangsung 1-3 menit.
GENERALISATA Hilangnya kesadaran; tidak ada awitan lokal; bilateral dan simetrik; tidak ada aura.
Tonik-Klonik Spasme tonik-klonik otot, inkontinensia urin dan alvi; menggigit lidah, fase pascaiktus.
Absence Sering salah mendiagnosa sebagai melamun.
• Menatap kosong, kepala sedikit lunglai, kepala bergetar, atau berkedip secara cepat; tonus postural tidak hilang.
• Berlangsung beberapa detik.
Mioklonik Kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas di beberapa otot atau tungkai; cenderung singkat.
Atonik Hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh (drop attacks).
Klonik Gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal atau multipel di lengan, tungkai atau torso.
Tonik Peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas; fleksi lengan dan ekstensi tungkai.
• Mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi
• Dapat menyebabkan henti nafas
Klasifikasi Epilepsi menurut Ngastiyah (2005):
a. Epilepsi parsial
Dapat bermanifestasi dengan gejala-gejala dasar ataupun kompleks. Epilepsi parsial dengan gejala-gejala dasar adalah yang mencangkup gejala-gejala motorik atau sensorik. Pada epilepsi parsial sederhana, hanya satu jari atau tangan yang bergetar, atau mulut dapat tersentak tak terkontrol. Individu ini bicara yang tidak dapat dipahami, pusing, dan mengalami sinar, bunyi, ban, atau rasa tidak umum atau tidak nyaman (Ngastiyah, 2005).
Epilepsi parsial yang kompleks melibatkan gangguan fungsional serebral pada tingkat yang lebih tinggi, seperti proses ingatan dan proses berpikir, individu tetap tidak bergerak atau bergerak secara otomatis tetapi tidak tepat dengan waktu dan tempat, atau mengalami emosi yang berlebihan yaitu takut, marah, kegirangan, atau peka rangsang. Fokus epileptik pada epilepsi jenis ini sering kali pada lobus temporalis (Ngastiyah, 2005).
b. Kejang umum
Grandmal. Grandmal adalah sejenis epilepsy yang paling sering dijumpai pada anak. Menurut klasifikasi internasional grandmal primer disebut sebagai generalized seizures, bilateral symmetrical seizures without local onset, type tonic clonic seizures. Pada jenis grandmal primer, pasien tidak ingat atau tidak tahu adanya serangan sejak semula. Sejak permulaan serangan pasien telah kehilangan kesadaran. Pada keadaan yang khas, serangan dimulai dengan kejang tonik yang kemudian disusul oleh kejang klonik. Pada fase tonik, badan pasien menjadi kaku dalam sikap opistotonus. Bila ia sedang berdiri pada saat serangan, ia akan terjatuh seperti benda mati. Lengan dalam keadaan sikap fleksi atau ekstensi, biasanya dalam sikap fleksi. Tungkai dalam sikap ekstensi. Bila kejang tonik ini kuat udara dikeluarkan dengan kuat dari paru melalui pita suara sehingga trdengar bunyi yang disebut jerit epilepsi (epileptic cry). Fase tonik ini biasanya berlangsung 20-60 detik kemudian disusul fase klonik. Selama fase klonik pasien menderita sianosis karena pernapasan terhenti dan terdapat pula kongesti vena. Pada fase klonik terjadi kejang umum yang melibatkan semua anggota gerak dan otot-otot pernapasan serta otot rahang. Terjadilah gerak bernapas stertorus dan keluar busa dari mulut. Lidah dapat tergigit saat kejang ini. Pasien dapat ngompol karena otot sfingter kandung kemih ikut kontraksi (Ngastiyah, 2005).
Epilepsi jenis grandmal dapat berupa primer atau sekunder. Sekunder, berarti sebelumnya pasien menderita jenis epilepsy lain. Bentuk grandmal merupakan serangan yang terberat. Kejang fokal bila rangsangannya cukup kuat akan menjadi bangkitan grandmal. Bila pasien terbaring pada permukaan yang keras dan kasar, kejang klonik tersebut dapat mengakibatkan luka-luka; gerakan kepala yang terantu-antuk dapat menyebabkan luka. Biasanya fase klonik ini berlangsung sekitar 40 detik tetapi dapat juga lebih lama. Setelah fase klonik, pasien terbaring dalam keadaan koma; pupil agak lebar dengan reaksi cahaya yang lambat, refleks kornea negative, pasien tidak member jawaban atas rangsangan nyeri dan didapatkan refleks patologik bilateral. Fase koma biasanya berlangsung kira-kira 1 menit, setelah itu pasien tertidur yang dapat berlangsung selama 2-3 jam. Jika pada saat tidur ini pasien dibangunkan ia mengeluh sakit kepala dan ada yang tampak bengong dalam keadaan disorientasi. Lama keadaan bengong berbeda-beda. Ada pasien yang segera pulih setelah beberapa menit serangan selesai, yang lain sampai beberapa jam atau hari. Sebagian besar mengeluh sakit kepala setelah serangan sampai satu atau dua hari, dan berkurang setelah tidur. Pada serangan grandmal terjadi gangguan autonom, didapatkan peningkatan simpatis dengan pelepasan epinefrin, yang menyebabkan terjadinya takikardia, peninggian tekanan darah, midriasis. Produksi air liur bertambah dan bila ini disertai kesukaran bernapas maka terlihat berbusa pada mulut pasien (Ngastiyah, 2005).
Bangkitan local atau bangkitan parsial baik yang sederhana maupun yang kompleks dapat berkembang menjadi grandmal bangkitan sekunder. Pada grandmal selalu didahului adanya “aura” yang dirasakan oleh pasien sebelum serangan terjadi dan kesadaran menghilang. Bentuk aura dapat berbeda-beda bergantung letak fokusnya; dapat berupa perasaan takut, halusinasi dari indra pencium, pengecapan, penglihatan, merasa mual dan perut seperti naik, merasa aneh di satu anggota gerak atau bagian dari badan dan sebagainya. Pada grandmal dapat pula dijumpai masa prodromal, yaitu beberapa jam atau beberapa hari sebelumnya terdapat misalnya perubahan tingkah laku seperti marah-marah, mudah tersinggung, selalu tegang dan sebagainya. Grandmal merupakan kejang umum yang terdiri dari fase tonik dan fase ronik. Pada kejang umum jenis klonik pasien menjadi tidak sadar tanpa didahului oleh fase tonik. Setelah fase klonik selesai pasien tertidur (Ngastiyah, 2005).
Petit mal. Petit mal disebut juga sebagai kejang detik). Pada serangan epilepsy murni (typical absence) atau simple absence . Bangkitan berlangsung singkat hanya beberapa detik (5-15 detik). Pada serangan epilepsy jenis petit mal yang terlihat sebagai berikut (Ngastiyah, 2005) :
1. Pasien tiba-tiba berhenti melakukan apa yang sedang ia lakukan (missalnya makan, membaca, berbicara, dan lain-lain)
2. Ia memandang kosong, melongo (staring). Pada saat ini tidak bereaksi bila diajak berbicara atau bila dipanggil karena ia tidak sadar.
3. Setelah beberapa detik ia kemudian sadar dan meneruskan lagi apa yang sedang ia lakukan sebelum serangan terjadi.
Pada serangtan petit mal selain terdapat kehilangan kesadaran dan melongo, dapat juga dijumpai mata berkedip dengan frekuensi 3 kali perdetik. Waktu serangan terjadi (kesadaran menurun) pasien tidak jatuh hanya agk terhuyung. Tidak didapatkan inkontinensia urine dan juga tidak terdapat “aura”. Dari segi klinis dinyatakan sukar untuk membedakannya dengan jenis serangan lain yang ditandai oleh menurunnya kesadaran tanpa adanya gerak kejang. Kebanyakan pasien demikian merupakan pasien epilepsy lobus temporal. Untuk menentukan diagnosis epilepsy jenis petit mal ini berdasarkan atas 2 hal yaitu gambaran klinis serta rekaman EEgyang mengandung “spike and wave”dengan frekuensi 3 kali per detik (Ngastiyah, 2005).
Petit mal merupakan jenis epilepsy yang jarang dijumpai. Bila ada biasanya didapatkan pada anak setelah umur 3 tahun dan mulai pada umur 4-12 tahun. Pada umur 20 tahun kira-kira 75% tidak mengalami serangan lagi; tetapi 50 % pasien petit mal berubah menjadi grandmal. Pperubahan biasanya mulai pada umur 10-13 tahun. Sebagian petit mal dapat berllanjut sampai dewasa walau frekuensi serangan jauh berkurang. Frekuensi serangan epilepsy petit mal bervariasi dari 2 atau 3 bulan sampai beberapa ratus kali dalam sehari. Bila serangan banyak dalam satu hari keadaan mental dapat terganggu karena frekuensi kesadaran menurun. Anak umumnya mengalami kesukaran dalam menerima pelajaran. Prognosis baik bila serangan mulai pada usia muda, dengan riwayat keluarga yang positif dengan intelegensi yang normal serta tidak dijumpai adanya deficit neurologic lainnya. Livingston dkk. berkesimpulan bahwa walaupun petit mal sendiri mempunya prognosis yang baik, tetapi pada kenyataannya muncul menjadi grandmal sering. Mereka berpendapat bahwa timbulnya serangan grandmal dapat dikurangi/dicegah secara bermakna bila diberikan pengobatan fenobarbital. Akan lebih berarti bila bersama-sama dengan obat untuk petit mal seperti trimedion atau etosuksimid. Jika petit mal mulai usia yang lebih lanjut misalnya setelah umur 10 tahun, kemungkinan mendapat epilepsy jenis lain lebih besar. Factor keturunan mempunyai peranan besar pada petit mal (Ngastiyah, 2005).
Status petit mal. Bila serangan epilepsy terjadi bertutrut-turut atau beruntun, dan serangan berikutnya telah mulai sebelum pasien pulih dari serangan sebelumnya, hal ini disebut status epileptikus (bangkita epilepsy beruntun). Diperkirakan 3% dari pasien petit mal pernah mengalami status petit mal (serangan beruntun tanpa pulih lebih dahulu). Pada serangan status petis mal ini pasien tidak memandang kosong tetapi dalam keadaan bengong, dalam keadaan disorientasi. Kesadaran tidak menghilang hanya menurun dan reaksinya lambat. Misalnya pasien ditanya dan diminta melakukan sesuatu, jawabannya lamban dan reaksinya lamban dibanding biasanya. Jika disuruh mengerjakan sesuatu banyak salah atau lupa. Status petit mal dapat berlangsung sampai 24 jam atau lebih, tetapi pada umumnya hanya beberapa menit. Bila telah diperiksa keadaan EEG dan ternyata petit mal dan diberikan pengobatan umumnya baik (Ngastiyah, 2005).
Spasme infantile. Infantile spasme ditandai oleh serangan yang berbentuk spasmus yang massif dari otot-otot badan. Didapatkan fleksi dari badan dan anggota gerak bawah dengan abduksi serta fleksi dari lengan. Terdapat gerakan kejutan dari otot fleksor ekstremitas dan kepala. Gerak kejut ini berlangsung singkat tetapi dapat berulang beberapa kali berturu-turut. Kadang kejutan ini disertai jeritan dari pasien sehingga orang tua mengura anaknay kesakitan. Juga dapat terjadi kejutan otot ekstensor (Ngastiyah, 2005).
Banyak sebutan lain dari spasme infantile spasm ini diantaranya sindrom west, infantile myoclonic encephalopathy, bangkitan salam (salam spells, salam spasm)/. Menurut gambaran EEG-nya, jenis ini disebut epilepsy jenis hipsaritmia. Bangkitan mulai umur 3 bulan sampai dua tahun. Dari pengalaman dikemukakan oleh ibunya bahwa anaknya sering membuat gerakan terkejut tanpa ada rangsangan. Ada yang menyangka sakit perut karena sering tiba-tiba mengangkat (fleksi) tungkainya. Gerak kejut ini umumnya terjadi pada waktu bangaun atau hendak tidur. Untuk memastikan diagnosis akan lebih mudah setelah dilakukan EEG dan menunjukkan kelainan yang khas, gelombang lambat bervoltase tinggi yang tidak teratur dengan gelombang paku multifocal. Infantil spasm biasanya menunjukkan adanya kerusakan yang luas dan difus di dalam otak yang dapat disebabkan bermacam-macam penyebab, misalnya anoksia otak yang berat, hipoglikemia, tuberous sclerosis, penyakit-penyakit metabolic, degenerative atau cacat anatomic pada otak. Sering pula bayi mempunyai riwayat kelahiran dan prenatal yang patologis. Prognosis pasien spasme infantilsuram terutama di bidang mental. GIBBS dkk. Mendapatlkan 87% pasien ini menderita retardasi mental. Didapatkan kecenderungan bahwa serangan akan mengurang/menghilang bila bayi bertambah besar; juga gambaran EEG akan berubah (Ngastiyah, 2005).
Penyakit-Penyakit yang Menyerupai Epilepsi
Sinkop. Pasien dengan sinkop biasanya mengalami gejala-gejala seperti berikut sebelum ia kehilangan kesadaran: merasa badannya dingin atau panas dan berkeringat dingin; telinga berdengung; pandangan kabur atau benda yang dilihatnya tampak hitam. Ia merasa pusing. Jarang sekali pasien jatuh pingsan tanpa didahului oleh aura. Bila pingsan terjadi tanpa gejala-gejala pendahuluan diagnosis sinkop harus diragukan. Dari orang lain yang melihatnya dapat mengatakan bahwa sebelum pasien jatuh pasien tampak pucat dan lemas. Sesekali terlihat bila ambang kejangnya terlampaui oleh hipoksia otak, ada gerak kejang pada tungkai atau lengan. Setelah beberapa detik serangan pasien pulih kembali tapi sering tampak bengong untuk beberapa saat dan merasa capai. Serangan sinkop hamper selalu terjadi ketika pasien dalam sikap berdiri atau tegak. Factor pencetus dapat bermacam-macam misalnya lama berdiri (ketika mengikuti upacara), melihat darah, rasa nyeri (takut suntikan), keadaan sedih (melihat salah satu orang tuanya meninggal) dan sebagainya (Ngastiyah, 2005).
Sinkop adalah menghilangnya kesadaran sepintas yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otak. Sebelum kesadaran menghilang di dapatkan gejala pendahuluan berupa rasa lemah, penglihatan gelap, keringat dingin, rasa tidak enak di perut, dan pucat. Penyebab sinkop bermacam-macam. Tiap kelainan yang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak secara mendadak dapat mengakibatkan terjadinya sinkop. Penyebab yang sering ialah refleks vascular yang abnormal, kegagalan refleks simpatis dan penyakit jantung . sinkop, apapun penyebabnya selalu disertai penurunan tekanan darah yang hebat ( sampai nol atau sangat rendah). Dalam hal demikian mekanisme autoregulasi pembuluh darah di otak tidak dapat bekerja secara efektif dan mengakibatkan terhentinya atau berkurangnya aliran darah ke otak (Ngastiyah, 2005).
Jenis sinkop yang sering ditemukan ialah sinkop vasovagal dan sinkop postural (hipotensi ortostatik). Ada dua komponen yang berperan dalam sinkop vasovagal, yaitu melambatnya denyut jantung karena pengaruh vagus dan adanya vasodilatasi di otot rangka, organ internal dan pembuluh darah splanchnik. Tetapi yang paling utama pengaruh vasodilatasi, berkurangnya tahanan di pembuluh darah perifert terutama di otot rangka (Ngastiyah, 2005).
Hipotensi ortoststik dapat menyebabkan sinkop jika tekanan darah turun banyak. Berdiri lama(waktu upacara); bangun dari tempat tidur setelah lama berbaribg karena suatu penyakit juga dapat menyebabkan sinkop. Untuk membedakan sinkop dan epile[psi dapat dengan melakukan anamnesis dan aloanamnesis yang baik. Selain itu, serangan epilepsy dapat terjadi pada setiap sikap badan, sedangkan sinkop hanya pada waktu sikap tegak (umumnya). Pada sinkop tekanan darah rendah; pada epilepsy tekanan darah naik/normal (Ngastiyah, 2005).
Selain sinkop masih ada beberapa kelainan yang sering menyebabkan gangguan kesadaran/ menghilangnya kesadaran sebentar diantaranya ialah (Ngastiyah, 2005) :
a. Serangan napas-terhenti-sepintas (serangan apnea sepintas),
Serangan ‘berhenti bernafas’ (breath holding spells) yaitu suatu manifestasi ‘anxiety’ dan ‘rage’ karena nyeri keras atau karena menangis secara intensif (Sidharta, 2008).
b. Serangan jantung-terhenti-sepintas,
Anak-anak dengan Tetralogi Fallot dapat memperlihatkan serangan tersebut (Sidharta, 2008).
c. Gangguan tidur/narkolepsi,
d. Migren. Kelainan ini sering disalah artikan sebagai epilepsy jenis lobus temporal. Migren merupakan gejala yang ditandai oleh nyeri kepala vascular yang berulang, biasanya unilateral disertai mual, anoreksia, dapat pula disertai gangguan sensorik, motorik, psikik dan sering ditemukan factor hereditas. Pada pasien migren umumnya keluhan lain seperti: mual, muntan, tidak enak diperut. Pada anak gambaran migren dapat bermacam-macam. Contoh, seorang anak berumur 8 tahun sedang bermain; ia berhenti bermain, tampak pucat. Ia mengeluh sakit kepala,merasa tak enak diperut, kadang-kadang disertai nausea; setelah ia tidur, anak merasa sehat kembali dan dapat bermain lagi. Pada anak yang lebih muda, gejala migren tidak mengeluh adanya sakit kepala tetapi sakit perut lebih menonjol kadang disertai muntah. Serangan biasanya mendadak tanpa pencetus, anak tampak sakit, pucat. Bila anak sering mendapatkan serangan demikian p[erlu dicari kemungkinan lain secara migren. Rekaman EEG biasanya berbagai jenis epilepsy normal. Aura pada migren berlangsung lebih lama daripada epilepsy. Biasanya pada keluarga terdapat juga riwayat migren (Ngastiyah, 2005).
Diketahui ada berbagai jenis epilepsi. Secara garis besar pasien epilepsi selalu mengalami kejang dan kejang tersebut dapat dibagi menjadi kejang fokal (parsial) dan kejang umum. Dengan melihat sendiri pada saat serangan/ kejang dan anamnesis kepada keluarga, agaknya dugaan bahwa anak menderita epilepsy lebih mudah. Pertolongan pada saat kejang sama dengan pasien kejang lainnya, selanjutnya diperlukan pemeriksaan laboratorim dan lainnya (Ngastiyah, 2005).
3. Patofisiologi Epilepsi
Adanya predisposisi yang memungkinkan gangguan pada sistem listrik dari sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak akan menjadikan sel-sel tersebut memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara berulang, dan tidak terkontrol (disritmia). Aktivitas serangan epilepsi dapat terjadi sesudah suatu gangguan pada otak dan sebagian ditentukan oleh derajat dan lokasi dari lesi. Lesi pada mesensefalon, thalamus, dan korteks serebri kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi pada serebelum dan batang otak biasanya tidak menimbulkan serangan epilepsy (Muttaqin, 2008).
Pada tingkat membran sel, neuron epileptik ditandai oleh fenomena biokimia tertentu. Beberapa diantaranya adalah ketidakstabilan membran sel saraf sehingga sel lebih mudah diaktifkan. Neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun, sehingga mudah terangsang, dan terangsang secara berlebihan. Situasi ini akan menyebabkan kondisi yang tidak terkontrol, pelepasan abnormal terjadi dengan cepat, dan seseorang dikatakan menuju kea rah epilepsi. Gerakan-gerakan fisik yang tidak teratur disebut kejang. Akibat adanya disritmia muatan listrik pada bagian otak tertentu ini memberikan manifestasi pada serangan awal kejang sederhana sampai gerakan konvulsif memanjang dengan penurunan kesadaran (Muttaqin, 2008).
Status epileptikus menimbulkan kebutuhan metabolik besar dan dapat memengaruhi pernapasan. Terdapat beberapa kejadian henti napas pada puncak setiap kejang yang menimbulkan kongesti dan hipoksia otak. Episode berulang anoksia dan pembengkakan serebral dapat menimbulkan kerusakan otak janin yang tidak reversibel dan fatal. kesadaran (Muttaqin, 2008).
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara tepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian “mengajak” neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersama-sama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak (Selzer dan Dichter, 1992 dalam Raharjo, 2007)
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah: Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel (intraseluler), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium (Chandra, 1993 dalam Raharjo, 2007).
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi (Widiastuti, 2001 dalam Raharjo, 2007).
1) Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin) kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2) Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA (gamma aminobutyric acid) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan (Budiarto, 1999 dalam Raharjo, 2007).
Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat) berlebihan (Budiarto, 1999 dalam Raharjo, 2007).
Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai (Joesoef, 1997 dalam Raharjo, 2007).
Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan (Joesoef, 1997 dalam Raharjo, 2007).
Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama (Meliala, 1999 dalam Raharjo, 2007).
4. Manifestasi Klinis
Kejang parsial dapat berkaitan dengan (Corwin, 2008):
• Gerakan wajah atau menyeringai
• Sentakan yang dimulai disalah satu bagian tubuh, yang dapat menyebar
• Pengalaman sensorik berupa penglihatan, bau atau suara
• Kesemutan
• Perubahan tingkat kesadaran
Kejang umum dapat berkaitan dengan (Corwin, 2008):
• Ketidaksadaran, biasanya ditandai dengan jatuh, kecuali pada masa kanak-kanak tidak ada kejang
• Refleks pada lengan dan tungkai yang tidak terkontrol
• Periode apnea yang singkat (henti nafas)
• Salivasi dan mulut berbusa
• Menggigit lidah
• Inkontinensia
• Stadium postictal berupa stupor atau koma diikuti oleh kebingungan, sakit kepala dan keletihan
• Prodroma dapat terjadi pada setiap jenis kejang. Prodroma adalah perasaan atau gejala tertentu yang dapat mendahului kejang selama beberapa jam atau beberapa hari
• Aura dapat terjadi pada setiap jenis kejang. Aura adalah sensasi sensorik tertentu yang sering atau selalu timbul sesaat menjelang kejang
5. Komplikasi Epilepsi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh epilepsi yaitu (Corwin, 2008):
• Kerusakan otak akibat hipoksia dan retardasi mental dapat terjadi setelah kejang yang berulang.
• Depresi dan ansietas dapat terjadi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, isolaso social jangkau panjang dapat terjadi.
6. Penatalaksanaan Epilepsi
Pertolongan pertama
Memposisikan penderita dengan kejang tonik klonik aktif pada posisi bertumpu pada sisi badan dan pada posisi pulih akan membantu mencegah cairan masuk ke paru-paru. Meletakkan jari, kotak gigitan atau penekan lidah di mulut tidak disarankan karena dapat menyebabkan penderita muntah atau menyebabkan penolong tergigit. Usaha-usaha yang ada harus dilakukan agar penderita tidak mencederai diri sendiri. Tindakan pencegahan cedera tulang belakang biasanya tidak diperlukan (Emergency Medical Clinic, 2011 dalam Wikipedia, 2014).
Bila kejang berlangsung lebih dari 5 menit atau terjadi dua atau lebih kejang dalam satu jam tanpa proses pemulihan ke keadaan normal di antaranya maka keadaan ini dianggap sebagai darurat medis yang dikenal sebagai status epileptikus. Kondisi ini memerlukan pertolongan medis agar jalan napas tetap terbuka dan terlindung; jalan napas nasofaringeal akan sangat membantu pada keadaan ini. Untuk di rumah, pengobatan awal yang diberikan pada kejang dengan durasi yang lama adalah midazolam yang diletakkan di mulut. Diazepam dapat juga diberikan dalam bentuk sediaan secara rektal. Di rumah sakit, pemberian lorazepam secara intravena lebih disukai. Bila dua dosis benzodiazepine tidak efektif, penggunaan obat lain yang dianjurkan adalah fenitoin. Status epileptikus konvulsif yang tidak memberikan respon terhadap penanganan awal biasanya memerlukan perawatan di unit gawat darurat dan perawatan dengan senyawa yang lebih kuat seperti tiopenton atau propofol (National Institute for Health and Clinical Excellence, 2012 dalam Wikipedia, 2014).
Menurut Yuliana pertolongan pertama pada pasien kejang adalah sebagai berikut:
1) Jangan takut, jangan panik, utamakan keselamatan dan bertindak tenang
a. Pindahkan barang-barang berbahaya yang ada di dekat penyandang
b. Jangan pindahkan penyandang kecuali berada dalam bahaya
c. Longgarkan kerah kemeja atau ikat pinggang agar memudahkan pernafasan
2) Jangan masukkan apapun ke dalam mulut penyandang, atau benda keras di antara gigi
a. Hal ini berbahaya karena benda tersebut dapat melukai penyandang
b. Bila penyandang muntah atau mengeluarkan banyak liur, miringkan kepala penyandang ke salah satu sisi
3) Observasi kondisi kejang
a. Perhatikan keadaan kesadaran, warna wajah, posisi mata, pergerakan keempat anggota gerak, suhu tubuh
b. Perhatikan waktu saat kejang mulai, dan lamanya kejang
4) Tetap di samping penyandang sampai penyandang pulih sepenuhnya
a. Bila setelah kejang berakhir penyandang tidak ada keluhan atau kelemahan maka penyandang dapat dikatakan telah pulih
b. Bila penyandang mengalami sakit kepala, terlihat kosong atau mengantuk, biarkan penyandang melanjutkan istirahatnya
c. Jangan mencoba memberi stimulasi pada keadaan penyandang belum sepenuhnya sadar . Biarkan penyandang untuk kembali pulih dengan tenang
5) Obat supositoria (diazepam/ stesolid) dapat diberikan sebagai pengobatan untuk menghentikan kejang
Pengobatan
Epilepsi biasanya ditangani dengan pemberian obat setiap hari bila telah timbul kejang yang kedua, tetapi untuk pasien dengan risiko tinggi, pengobatan dapat dimulai segera setelah kejang yang pertama kali. Pada sejumlah kasus mungkin perlu dilakukan diet khusus, implantasi neurostimulator, atau pembedahan saraf (National Institute for Health and Clinical Excellence, 2012 dalam Wikipedia, 2014).
Menurut Dr. Yuliana obat-obat yang digunakan dalam menangani epilepsi adalah sebagai berikut:
Phenobarbital
Carbamazepine
Phenytoin
Sodium Valproate
Clobazam
Clonazepam
Lamotrigine
Topiramate
Levetiracetam
Oxcarbazepine
Acetazolamide
Penanganan andalan untuk epilepsi adalah dengan pemberian obat antikonvulsan, dengan kemungkinan pemberian seumur hidup. Pemilihan penggunaan antikonvulsan tergantung pada tipe kejang, sindrom epilepsi, pengobatan lain yang digunakan, masalah kesehatan lainnya, dan usia serta gaya hidup penderita. Pada awalnya direkomendasikan pengobatan tunggal; bila tidak efektif, direkomendasikan beralih ke pengobatan tunggal lainnnya. Dua jenis pengobatan sekaligus hanya direkomendasikan bila pengobatan tunggal tidak bekerja dengan baik. Pada kurang lebih setengahnya, agen pertama efektif; agen tunggal kedua membantu sekitar 13% dan yang ketiga atau dua agen pada waktu bersamaan mungkin memberi tambahan bantuan sebanyak 4%. Sekitar 30% dari penderita tetap mengalami kejang walaupun sudah mendapatkan penanganan dengan antikonvulsan (National Institute for Health and Clinical Excellence, 2012 dalam Wikipedia, 2014).
Terdapat berbagai pengobatan yang tersedia. Fenitoin, carbamazepin dan valproat tampaknya memberikan pengaruh yang sama pada kejang fokal dan yang umum. Pelepasan terkontrol dari carbamazepin juga tampaknya bekerja dengan baik sebagaimana pelepasan langsung carbamazepin, dan mungkin hanya memberikan sedikit efek samping. Di Inggris, carbamazepin atau lamotrigin direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama untuk kejang fokal, dengan levetirasetam dan valproat sebagai lini kedua atas pertimbangan masalah biaya dan efek sampingnya. Valproat direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama untuk kejang secara umum dengan lamotrigin sebagai pengobatan lini kedua. Pada penderita yang tidak disertai kejang, direkomendasikan penggunaan etosuksimid atau valproat; valproat pada umumnya efektif untuk kejang mioklonik dan kejang tonik atau atonik. Bila kejang telah terkontrol dengan baik dengan penaganan tertentu, biasanya tidak selalu diperlukan pemeriksaan rutin kadar obat dalam darah (National Institute for Health and Clinical Excellence, 2012 dalam Wikipedia, 2014).
Jenis antikonvulsan yang lebih ekonomis adalah fenobarbital. The World Health Organization (Organisasi Kesehatan Dunia) menjadikannya rekomendasi lini pertama di negara berkembang. (Bulletin of the World Health Organization, 2012 dalam Wikipedia 2014).
Menghentikan pengobatan secara perlahan dapat dilakukan pada penderita yang tidak mengalami kejang selama dua hingga empat tahun, namun demikian, sepertiga dari penderita mengalami kejang kembali, pada umumnya selama enam bulan pertama (National Institute for Health and Clinical Excellence, 2012 dalam Wikipedia 2014).
Tabel Obat-Obat Antikonvulsan
Tipe kejang Obat pilihan
Parsial Karbamazepin
Natrium valproat
Fenitoin
Lamotrigin
Absans Etosuksimid
Natrium valproat
Lamotrigin
Mioklonik Natrium valproat
Klonazepam
Lamotrigin
Tonik-klonik generalisata Natrium valproat
Fenitoin
Karbamazepin
Lamotrigin
Bedah
Bedah epilepsi bisa menjadi pilihan bagi mereka yang menderita kejang fokal yang tak kunjung membaik setelah ditempuhnya penanganan-penanganan lain. Penanganan lain tersebut mencakup paling tidak uji satu atau dua jenis pengobatan. Sasaran bedah adalah kendali tuntas atas kejang yang dialami oleh pasien dan ini bisa berhasil terlaksana dalam 60-70% kasus. Prosedur-prosedur yang lazim ditempuh meliputi: pemotongan hipokampus lewat reseksi lobus temporal anterior, pengangkatan tumor, dan pengangkatan sebagian neokorteks. Beberapa prosedur seperti kalosotomi korpus dilakukan dalam upaya mengurangi jumlah kejang. Setelah bedah, pengobatan sering kali bisa dikurangi secara perlahan (Duncan, 2007 Clinical medicine (London, England) dalam Wikipedia,2014).
Pencegahan
Terapi penghindaran merupakan usaha untuk meminimalkan atau menghilangkan pemicu-pemicu. Contohnya, pada penderita yang peka terhadap cahaya ada baiknya untuk menggunakan televisi berlayar kecil, menghindari permainan video, atau memakai kacamata gelap. (Verrotti, A., dkk., 2005 European journal of neurology : the official journal of the European Federation of Neurological Societies dalam Wikipedia, 2014)
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala (Sidharta, 2008)
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini (Sidharta, 2008).
Epilepsi dan kehamilan
Adalah penting dan praktis untuk mengetahui jawaban-jawaban atas pertanyaan apakah serangan epileptik mengganggu kehamilan dan bagaimana efek obat antikonvulsan terhadap kehamilan. Dalam garis besarnya dapat diberikan patokan-patokan sebagai berikut (Sidharta, 2008):
a. Konvulsi umum membahayakan kandungan karena hipoksia akan timbul pada setiap serangan konvulsi umum, maka fetus dapat mati atau perkembangannya terhalang.
b. Efek obat antikonvulsan terhadap fetus belum diketahui dengan pasti.
c. Serangan petit mal tidak menimbulkan hipoksia pada kandungan.
d. Jadi: Para penderita petit mal dan epilepsi fokal/parsial yang tidak diserang oleh konvulsi umum boleh menghentikan pemakaian obat antikonvulsi selama hamil. Tetapi para penderita epilepsi jenis apapun yang serangannya berupa konvulsi umum harus melanjutkan pemakaian obat antikonvulsi selama hamil. Bila dapat diganti, sebaiknya phenobarbital adalah yang paling ringan dan aman bagi kandungan.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN EPILEPSI
1. Pengkajian
Dasar Data Pengkajian Pasien
AKTIVITAS/ISTIRAHAT
Gejala: Keletihan, kelemahan umum.
Keterbatasan dalam beraktivitas/ bekerja yang dittimbulkan oleh diri sendiri/ terdekat pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
Tanda: Perubahan tonus/kekuatan otot.
Gerakan involunter/kontraksi otot ataupun sekelompok otot.
SIRKULASI
Gejala: Iktal: Hipertensi, peningkatan nadi, sianosis.
Posiktal: Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernapasan.
INTEGRITAS EGO
Gejala: Stensor eksternal/internal yang berhubungan dengan keadaan dan/atau penanganan.
Peka rangsang; perasaan tidan ada harapan/tidak berdaya. Perubahan dalam berhubungan
Tanda: Pelebaran rentang respon emosional.
ELIMINASI
Gejala: Inkontinensia episodik.
Tanda: Iktial: Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus stingfer. Posiktal: Otot relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia (baik urine/fekal).
MAKANAN/CAIRAN
Gejala: Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang.
Tanda: Kerusakan jaringan lunak/gigi (cedera selama kejang).
Hiperplasia gingival (efek samping pemakaian Dilantin jangka panjang).
NEUROSENSORI
Gejala: Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pingsan, pusing. Riwayat trauna kepala, anoreksia, dan infeksi serebral.
Posiktal: Kelemahan, nyeri otot, area parestase/paralisis.
NYERI/KENYAMANAN
Gejala: Sakit kepala, nyeri otot/punggung pada periode posikal.
Nyeri abnormal paroksimal selama fase iktal (mungkin terjadi selama kejang fokal/parsial tanpa mengalami penurunan kesadaran).
Tanda: Sikap/tingkah laku yang berhati-hati.
Perubahan pada tonus otot.
Tingkah laku distraksi/gelisah.
PERNAPASAN
Gejala: Fase iktal: Gigi mengatup, sianosis, pernapasan menurun/cepat; peningkatan sekresi mukus.
Fase posiktal: Apnea.
KEAMANAN
Gejala: Riwayat terjatuh/trauma, fraktur.
Adanya alergi
Tanda: Trauma pada jaringan lunak/ekimosis.
Penurunan kekuatan/tonus otot secara menyeluruh.
INTERAKSI SOSIAL
Gejala: Masalah dalam hubungan interpersonal dalam keluarga atau lingkungan sosialnya.
Pembatasan/penghindaran terhadap kontak sosial.
Pemeriksaan Diagnostik Kejang
Elektrolit : Tidak seimbang dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang.
Glukosa : Hipoglikemia dapat menjadi presipitasi (pencetus) kejang.
Ureum/kreatinin : Meningkat dapat meningkatkan risiko timbulnya aktivitas kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrotoksik yang berhubungan dengan pengobatan.
Sel Darah Merah (SDM) : Anemia aplastik mungkin sebagai akibat dari terapi obat.
Kadar obat pada serum : Untuk membuktikan batas obat antiepilepsi yang terapeutik.
Pungsi lumbal (PL) : Untuk mendeteksi tekanan abnormal dari CSS, tanda-tanda infeksi, perdarahan (hemoragik sub arakhnoid, subdural) sebagai penyebab kejang tersebut.
Foto ronsen kepala : Untuk mengidentifikasi adanya SOL, fraktur.
Elektroensefalogram (EEG) : Melokalisasi daerah serebral yang tidak berfungsi dengan baik , mengukur aktivitas otak. Gelombang otak untuk menentukan karakteristik dari gelombang pada masing-masing tipe dari aktivitas kejang.
Pemantauan video-EEG, 24 jam : Dapat mengidentifikasikan fokus kejang secara tepat.
Skan CT : mengidentifikasi letak lesi serebral, infark, hematoma, edema serebral, trauma, abses, tumor, dan dapat dilakukan dengan/tanpa kontras.
Positron Emission Tomography (PET): Mendemonstrasikan perubahan metabolik, misalnya penurunan metabolisme glukosa pada sisi lesi.
MRI : Melokalisasi lesi-lesi lokal.
Magnetoensefalogram : Memetakan impuls/potensial listrik otak pada pola pembebasan yang abnormal.
Wada : Menentukan hemisfer dominan (dilakukan sebagai evaluasi awal dari pra operasi lobektomi temporal)
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut Cappernito (1999):
1. Risiko Tinggi terhadap Inefektif Bersihan Jalan Napas yang berhubungan dengan relaksasi lidah dan refleks gangguan sekunder terhadap gangguan pada inervasi otot
2. Risiko Tinggi terhadap Isolasi Sosial yang berhubungan dengan takut merasa malu sekunder terhadap mengalami kejang di masyarakat
3. Risiko Tinggi Inefektif Penatalaksanaan Program Terapeutik yang berhubungan dengan insufisiensi pengetahuan tentang kondisi, obat, perawatan selama kejang, bahaya lingkungan, dan sumber komunitas
Diagnosa Keperawatan menurut Doengus (1999):
1. Risiko tinggi terhadap trauma/kerusakan sel otak dan penghentian nafas berhubungan dengan kejang, kelemahan progresif cepat otot-otot pernafasan.
2. Risiko tinggi terhadap bersihan jalan nafas/pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, obstruksi trakeobronkial.
3. Harga diri/ identitas pribadi, gangguan berhubungan dengan sigma berkenaan dengan kondisi, persepsi tentang tidak terkontrol.
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan informasi pada klien/keluarga terhadap perubahan status kesehatan.
Diagnosa Keperawatan menurut Arif Muttaqin (2008):
1) Risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara penanganan saat kejang, serta penurunan tingkat kesadaran.
2) Nyeri akut yang berhubungan dengan nyeri kepala sekunder respons pasca kejang (postikal).
3) Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kebingungan, malas bangun sekunderrespons pasca kejang (postikal).
4) Ketakutan yang berhubungan dengan kejang berulang.
5) Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan depresi akibat apilepsi.
3. Intervensi
a. Intervensi berdasarkan diagnosa Cappernito (1999):
Risiko Tinggi terhadap Inefektif Bersihan Jalan Napas yang berhubungan dengan relaksasi lidah dan refleks gangguan sekunder terhadap gangguan inervasi otot
Kriteria Pengkajian Fokus Makna Klinis
1. Riwayat aktivitas kejang
2. Status pernapasan selama aktivitas kejang Gerakan tonik/klonik selama kejang dapat menyebabkan lidah turun ke belakang dan mnghambat jalan nafas.
Intervensi Rasional
1. Selama kejang, lakukan hal berikut :
a. Berikan privasi, bila mungkin
b. Baringkan klien di lantai, bila mungkin
c. Setelah kejang, baringkan klien pada posisi miring
d. Kendurkan pakaian disekitar leher
e. Bila tidak memungkinkan utuk membaringkan klien dalam posisi miring, angkat dagunya ke atas dan ke depan dengan kepala mendongak ke belakang untuk membantu membuka jalan nafas 1. Tindakan ini dapat membantu menurunkan cedera dan rasa malu.
2. Observasi kejang dan dokumentasikan karakteristiknya :
a. Awitan dan durasi
b. Kejadian pra kejang (mis.,penglihatan, pendengaran, penciuman atau rangsang takut)
c. Bagian tubuh dimana kejang mulai, gerakan awal
d. Mata : terbuka dan terpejam, ukuran pupil
e. Bagian tubuh yang terlibat, tipe gerakan
f. Aktivitas motorik involunter (mis., mengecap bibir atau menelan berulang kali)
g. Inkontinensia (fekal atau urine)
h. Penurunan kesadaran
i. Paska kejang: kemampuan bicara, tidur, bingung, kelemahan, paralisis 2. Informasi ini memberi petunjuk pada lokasi focus epileptogenik pada otak dan bermanfaat dalam mengambil tindakan
3. Bila klien mengeluh aura, anjurkan dia berbaring 3. Posisi rekumben dapat mencegah cedera karena jauh
4. Ajarkan anggota keluarga atau orang terdekat cara berespon pada klien selama kejang 4. Orang lain dapat diajarkan tindakan untuk mencegah obstruksi jalan nafas dan cedera
Risiko Tinggi terhadap Isolasi Sosial yang berhubungan dengan takut akan rasa malu sekunder terhadap mengalami kejang di banyak orang
Kriteria Pengkajian Fokus Makna Klinis
1. Pola sosialisasi biasanya :
a. Hobi
b. Minat pada orang lain
c. Gereja
d. Tengga
e. Sekolah 1. Klien berisiko tinggi harus dikaji dengan cermat, karena penderitaan yang berkaitan dengan isolasi social tidak selalu cepat tampak.
2. Masalah berkenaan dengan sosialisasi 2. Perasaan penolakan dan malu adalah umum
Intervensi Rasional
1. Bantu klien mengenali kebutuhan sosialisasi 1. Klien yang cenderung kejang dapat memisahkan diri dari keluarga, teman, dan kontak social lain
2. Berikan dukungan dan validasi bahwa masalah yang dia hadapi adlah normal 2. Perawat harus sensitive terhadap dampak kejang pada citra tubuh klien, menghasilkan konsep diri, dan minat aktivitas social
3. Bantu klien mengidentifikasi aktivitas yang menyebabkan dan tidak berbahaya 3. Rasa takut akan cedera dapat menimbulkan isolasi
4. Tekankan pentingnya mematuhi rencana pengobatan 4. Kepatuhan pada regimen pengobatan dapat membantu mencegah atau mengurangi episode kejang
5. Diskusikan pengungkapan diagnosis dengan anggota keluaraga, teman, teman kerja dan kontak sosial 5. Dialog terbuka dengan orang lain dapat memberitahukan mereka terlebih dahulu tentang kemungkinan kejang, yang dapat mengurangi keterkejutan menyakitkan kejang dan memungkinkan membantu tindakan
6. Diskusikan situasi dimana klien dapat menemui orang lain pada situasi serupa:
1. Kelompok pendukung
2. Yayasan Epilepsi 6. Dengan berbagi pada orang lain dengan situasi yang serupa dapat memberi klien pandangan yang lebih realistik tentang gangguan kejang dan persepsi social
Risiko Tinggi terhadap Inefektif Penatalaksaan Regimen Terapeutik yang berhubungan dengan insufisiensi pengetahuan tentang kondisi, medikasi, perawatan selama kejang, bahaya lingkungan, dan sumber-sumber komunikasi
Kriteria Pengkajian Fokus Makna Klinis
1. Pengetahuan saat ini tentang kejang dan penatalaksanaannya
Pengkajian membantu mengidentifikasi setisp factor yang dapat mempengaruhi belajar.klien atau keluarga yang tidak mencapai tujuan pembelajaran memerlukan rujukan untuk bantuan paska pulang.
2. Factor penunjang meliputi hal berikut:
a. ansietas
b. diagnosis baru
c. kekurangan instruksi sebelumnya
3. Sumber-sumber (mis., keluarga, keuangan dan komunitas)
4. Sikap, perasaan dan masalah yang berhubungan dengan gangguan kejang
5. kesiapan dan kemampuan belajar
Intervensi Rasional
1. Ajarkan tentang gangguan kejang dan pengobatan, perbaiki miskonsepi 1. Pengertian klien dan keluarga tentang gangguan kejang dan regimen pengobatan yang diharuskan sangat mempengaruhi kepatuhan terhadap regimen.
2. Bila klien sedang dalam terapi obat ajarkan informasi berikut :
a) Jangan menghentikan obat tiba-tiba
b) Efek samping dan tanda toksisitas
c) Pentingnya untuk memantau kadar obat dalam darah.
d) Pentingnya untuk melakukan pemeriksaan. Hitung darah lengkap secara periodik, bila diindikasikan.
e) Efek difenilhidantoin (dilantin), bila diperintahkan, pada jaringan gusi dan kebutuhan pemeriksaan gigi rutin. 2. Kewaspadaan khusus harus ditekankan untuk menjamin terapi obat yang aman, efektif
a) Penghentian tiba-tiba dapat mencetuskan status epileptikus.
b) Identifikasi dini terhadap masalah memungkinkan intervensi segera untuk mencegah komplikasi serius.
c) Kadar obat dalam darah memandu penyesuaian dosis obat.
d) Penggunaan anti konvulsif jangka panjang, seperti hidantoin (mis ; fenitoin [Dilantin]) dapat menyebabkan diskrasias darah.
e) Terapi fenitoin jangka panjang dapat menyebabkan hyperplasia gusi
3. berikan informasi tentang situasi yang meningkatkan risiko kejang :
a) Minum alcohol
b) Masukan kafein berlebihan
c) Keletihan/stress berlebihan
d) Penyakit demam
e) Penyesuaian layar televise kurang baik
f) Tingkat aktivitas menonton 3. situasi tertentu telah teridentifikasi sebagai peningkat epidose kejang, meskipun mekanisme actual dibelakang situasi tersebut tidak diketahui
4. Bahas mengapa aktivitas tertentu yang berbahaya dan harus dihindari :
a) Berenang sendiri
b) Mengendarai (kecuali bebas kejang selama 1 sampai 3 tahun bergantung status )
c) Mengoperasikan mesin yang potensial berbahaya
d) Mendaki gunung
e) Pekerjaan dimana klien dapat mengalami cedera atau menyebabkan orang lain cedera
4. Umumnya, klien yang cenderung kejang harus menghindari aktivitas yang dapat menyebabkan klien atau situasi orang lain pada situasi berbahaya bila terjadi kejang.
5. Berikan kesempatan pada klien dan orang terdekat untuk mendekspresikan perasaan mereka sendiri dan saling mengekspresikan. 5. menyaksikan kejang adalah menakutkan untuk orang lain dan memalukan bagi klien yang rentan terhadap kejang. Rasa malu dan memalukan ini mempunyai dampak terhadap ansietas, depresi, bermusuhan, dan takut. Anggota keluarga juga dapat mengalami perasaan ini. Diskusi terbuka dapat mengurangi perasaan malu dan isolasi.
6. Rujuk klien dan keluarga pada sumber komunitas dan bahan bacaan untuk membantu penatalaksaan (mis ; Yayasan epilepsy, rehabilitasi okupasi ) 6. sumber ini dapat memberikan informasi tambahan dan dukungan.
b. Intervensi berdasarkan diagnosa Doengus (1999):
DIAGNOSA KEPERAWATAN : Risiko tinggi terhadap trauma/kerusakan sel otak dan penghentian nafas berhubungan dengan kejang dan kelemahan progresif cepat otot-otot pernafasan.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, masalah klien teratasi dengan kriteria:
a. Klien mengungkapkan pemahaman faktor yang menunjang kemungkinan trauma, dan/atau penghentian pernafasan dan mengambil langkah untuk memperbaiki situasi.
b. Klien mendemonstrasikan perilaku, perubahan gaya hidup untuk mengurangi faktor risiko dan melindungi diri dari cedera.
c. Klien mampu mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan.
d. Klien membantu klien untuk mempertahankan aturan pengobatan untuk mengontrol/menghilangkan aktivitas kejang.
Intervensi Rasionalisasi
Gali bersama-sama klien dan orang tua/keluarga berbagai stimulasi yang menjadi pencetus demam. Kejang demam terjadi ketika demam menyebabkan perubahan beda potensial sel neuron yang menyebabkan pelepasan muatan listrik yang besar. Jadi, pengkajian difokuskan pada area penyebab demam.
Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang terpasang dengan posisi tempat tidur rendah Mengurangi trauma saat kejang (sering/umum) terjadi selama pasien di tempat tidur.
Evaluasi kebutuhan untuk/ berikan perlindungan pada kepala.
Penggunaan penutup kepala dapat memberikan perlindungan tambahan terhadap seseorang yang mengalami kejang terus-menerus/kejang berat.
Kaji suhu menggunakan termometer dengan bahan metal atau ukur suhu melalui lubang telinga jika perlu.
Menurunkan risiko pasien menggigit atau menghancurkan termometer yang terbuat dari kaca atau kemungkinan mengalami trauma jika terjadi aktivitas kejang.
Pertahankan tirah baring secara ketat jika pasien mengalami tanfa-tanda timbulnya fase prodromal/aura. Jelaskan pentingnya tindakan ini pada klien/orang tua/keluarga.
Pasien mungkin tidak dapat beristirahat /perlu untuk bergerak atau melepaskan diri dari suatu keadaan selama fase aura, namun bergerak dengan mempedulikan diri dari keamanan lingkungan dan mudah diobservasi. Pemahaman kepentingan untuk mempertimbangkan tentang pentingnya kebutuhan keamanan diri sendiri dapat menambah keikutsertaan (kerja sama) pasien.
Minta orang tua/keluarga klien untuk tetap tinggal bersama klien dalam waktu beberapa lama selama/setelah kejang. Meningkatkan keamanan klien.
Masukkan jalan nafas buatan seperti plastik atau biarkan klien menggigit sesuatu yang lunak antara gigi (jika rahang sedang relaksasi). Miringkan kepala ke salah satu sisi/lakukan penghisapan pada jalan nafas sesuai indikasi
Menurunkan risiko terjadinya trauma mulut tetapi tidak boleh “dipaksa” atau masukkan ketika gigi-gigi sedang mengatup kuat karena kerusakan pada gigi jaringan lunak dapat terjadi. Juga membantu mempertahankan jalan nafas. Catatan : Spatel lidah dari kayu tidak boleh digunakan karena mungkin bisa rusak atau terpelintir pada mulut klien.
Atur kepala, tempatkan di atas daerah yang empuk (lunak) atau bantu meletakkan pada lantai jika keluar dari tempat tidur. Jangan melakukan restrein. Mengarahkan ekstremitas dengan hati-hati menurunkan risiko trauma secara fisik ketika klien kehilangan kontrol terhadap otot volunter. Catatan : jika dilakukan restrein pada klien yang mengalami kejang, gerakan kaku dapat meningkat dan klien dapat mengalami trauma oleh diri sendiri atau orang lain.
Catat tipe dari aktivitas kejang (seperti lokasi/ lamanya aktivitas motorik, hilang/penurunan kesadaran, inkontinensia, dll) dan berapa kali terjadi (frekuensi/kambuhannya).
Membantu untuk melokalisasi daerah otak yang terkena.
Lakukan penilaian neurologis/TTV setelah kejang, misal: tingkat kesadaran, orientasi, TD, nadi dan pernafasan.
Mencatat keadaan posiktal dan waktu penyembuhan pada keadaan normal.
Orientasikan kembali kepada orang tua/keluarga klien terhadap aktivitas kejang yang dialami anaknya. Untuk menghilangkan ansietas. Orang tua/keluarga mungkin bingung dan cemas. Klien mungkin mengalami amnesia setelah kejang dan memerlukan bantuan untuk dapat mengontrol lagi.
Observasi munculnya tanda-tanda atau gejala status epileptikus, seperti kejang tonik-klonik setelah jenis yang lain muncul dengan cepat dan cukup meyakinkan. Hal ini merupakan keadaan darurat yang mengancam hidup yang dapat menyebabkan henti nafas, hipoksia berat, dan/atau kerusakan pada otak dan sel saraf. Intervensi yang segera dibutuhkan untuk mengendalikan aktivitas kejang.
Diskusikan adanya tanda-tanda serangan kejang (jika memungkinkan) dan pola kejang yang biasa dialami klien. Ajarkan orang terdekat klien untuk mengenali tanda-tanda awal dari kejang tersebut dan bagaimana merawat klien selama dan setelah serangan kejang. Memberikan kesempatan orang tua/keluarga klien untuk melindungi klien dari trauma dan mengenali perubahan yang perlu disampaikan pada dokter/pada intervensi selanjutnya. Mengetahui apa yang harus dilakukan saat kejang terjadi dapat mencegah trauma/komplikasi dan menurunkan perasaan tak berdaya dari orang terdekat.
Berikan obat sesuai indikasi:
Obat antiepilepsi meliputi fenitoin (Dilatin), pirimidon (Mysoline), karbamazepin (Tegretol), klonazepam (Klonopin), asam valproat (Depakote).
Fenobarbital (Luminal)
Diazepam (Valium)
Glukosa, tiamin
Obat antiepilepsi meningkatkan ambang kejang dengan menstabilkan membran sel saraf, yang menurunkan eksitasi neuron melalui aktivitas langsung pada sistem limbik, talamus, dan hipotalamus. Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan penekanan terhadap aktivitas kejang dengan dosis obat-obat yang rendah dan dengan efek samping yang minimal.
Meningkatkan efek dari obat antiepilepsi dan memungkinkan untuk memberikan dosis lebih rendah untuk menurunkan efek sampingnya.
Dapat digunakan tersendiri (atau dalam kombinasi dengan fenobarbital) sebagai obat pilihan pertama untuk menekan status kejang.
Dapat diberikan untuk mempertahankan keseimbangan metabolisme jika kejang tersebut ditimbulkan oleh hipoglikemia/ alkohol.
Pantau/catat kadar obat antiepilepsi, yang berhubungan dengan efek samping dan frekuensi dari aktivitas kejang yang terjadi. Kadar terapeutik standar mungkin tidak optimal pada klien individual jika terjadi efek samping yang merugikan atau kejangnya tidak terkontrol.
Pantau kadar sel darah, elektrolit dan glukosa Mengidentifikasi faktor-faktor yang memperberat/menurunkan ambang kejang.
Siapkan untuk pembedahan/elektrolit pengganti sesuai indikasi. Stimulator saraf vegal, terapi dengan pemancaran magnetik, atau intervensi bedah lainnya (seperti; lubektomi temporal) dapat dilakukan untuk kejang yang tidak dapat diobati atau melokalisasi dengan akurat lesi epileptogenik ketika klien tidak mengatasi dan adanya risiko yang amat tinggi terhadap munculnya trauma yang serius.
DIAGNOSA KEPERAWATAN : Risiko tinggi terhadap bersihan jalan nafas/pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, obstruksi trakeobronkial, dan kerusakan persepsi/kognitif.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, masalah klien teratasi dengan kriteria:
Mampu mempertahankan pola pernafasan efektif dengan jalan nafas paten/aspirasi dicegah.
Intervensi Rasionalisasi
Lakukan penilaian neurologis/TTV setelah kejang, misal: tingkat kesadaran, orientasi, TD, nadi dan pernafasan. Untuk mengetahui gambaran status fungsional kesehatan klien, sehingga dapat mengantisipasi keadaan klien.
Ajarkan orang tua/keluarga klien untuk mengosongkan mulut dari benda/zat tertentu jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rangang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
Menurunkan risiko aspirasi atau masuknya sesuatu yang asing ke faring.
Letakkan klien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala selama serangan kejang. Meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas.
Tanggalkan pakaian pada daerah leher/dada dan abdomen. Untuk memfasilitasi usaha bernafas/ ekspansi dada.
Masukkan spatel lidah/jalan nafas buatan atau gulungan benda lunak sesuai dengan indikasi.
Jika memasukkannya diawal untuk membuka rahang, alat ini dapat mencegah tergigitnya lidah dan memfasilitasi saat penghisapan lendir atau memberi sokongan pernafasan jika diperlukan. Jalan nafas buatan mungkin diindikasikan setelah meredanya aktivitas kejang jika klien tersebut tidak sadar dan tidak dapat mempertahankan posisi lidah yang aman.
Lakukan penghisapan sesuai indikasi Menurunkan risiko aspirasi atau asfiksia.
Berikan tambahan oksigen atau ventilasi manual sesuai kebutuhan pada fase posiktal.
Siapkan untuk/bantu melakukan intubasi , jika ada indikasi. Dapat menurunkan hipoksia serebral sebagian akibat dari sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang. Catatan : ventilasi buatan selama serangan kejang umum dibatasi atau tidak menguntungkan karena dalam keadaan seperti ini tidak mungkin untuk memindahkan udara ke dalam/keluar paru selama kontraksi otot pernafasan yang amat berlebihan. Setelah kejang itu reda, fungsi pernafasan akan kembali jika tidak muncul masalah sekunder (seperti: benda asing atau terjadi aspirasi).
Munculnya apnea yang berkepanjangan pada fase posiktal membutuhkan dukungan ventilator mekanik.
DIAGNOSA KEPERAWATAN : HARGA DIRI/ IDENTITAS PRIBADI, GANGGUAN
Tujuan: Mengidentifikasi perasaan dan metode untuk kooping dengan presepsi negatif pada diri sendiri, Mengungkapkan peningkatan rasa harga diri dalam hubungannya dengan diagnosis, Mengungkapkan persepsi realistis dan penerimaan diri dalam perubahan peran dan gaya hidup
Intervensi Tujuan
Mandiri :
Diskusikan perasaan pasien mengenai diagnostik, persepsi diri terhadap tindakan yang dilakukannya. Anjurkan untuk mengungkapkan/ mengekspresikan perasaannya
Reaksi yang ada bervariasi diantara individu dan pengetahuan/ pengalaman awal dengan keadaan penyakitnya akan mempengaruhi penerimaan terhadap pengaturan pengobatan. Adanya keluhan merasa takut, marah dan sangat memperhatikan tentang implikasinya dimasa yang akan datang dapat membantu pasien menerima keadaannya.
Identifikasi/ antisipasi kemungkinan reaksi orang pada keadaan penyakitnya. Anjurkan pasien untuk tidak merahasiakan masalahnya. Memberikan kesempatan untuk berespon pada proses pemecahan masalah dan memberikan tindakan control terhadap situasi yang dihadapi. Merahasiakan sesuatu adalah dekstruksit (merusak) harga diri (potensial mengalami menyangkal), menghentikan perkembangan dalam menangani maslah dan mungkin secara aktual meningkatkan resiko trauma atau respon yang negative ketika kejang itu terjadi.
Gali bersama pasien mengenai keberhasilan yang diperoleh atau yang akan dicapai selanjutnya dan kekuatan yang dimilikinya. Memfokuskan pada aspek yang positif dapat membantu untuk menghilangkan perasaan dari kegagalan atau kesadaran terhadap diri sendiri dan membentuk pasien mulai menerima penanganan terhadap penyakitnya.
Hindari pemberian perlindungan yang amat berlebihan pada pasien, anjurkan aktivitas dengan memberikan pengawasan/ dengan memantau jika ada indikasi. Partisipasi dalam sebanyak mungkin pengalaman dapat mengurangi depresi tentang keterbatasan. Observasi/ pengawasan perlu diberikan pada beberapa aktivitas seperti latih tubuh (senam), olahraga memanjat/ panjat tebing atau olahraga air.
Tentukan sikap/ kecakapan orang terdekat. Bantu ia menyadari perasaan tersebut adalah normal, sedangkan merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri tidak ada manfaatnya. Pandangan yang negative dari orang terdekat dapat berpengaruh terhadap perasaan kemampuan/ harga diri pasien dan mengurangi dukungan yang diterima dari orang terdekat tersebut yang mempunyai resiko membatasi penanganan optimal.
Tekanan pentingnya staf/ orang terdekat untuk tetap dalam keaadaan tenang selama kejang. Ansietas dari pemberian asuhan adalah menjalar dan bila sampai pada pasien dapat meningkatkan persepsi negative terhadap keadaan lingkungan/ diri sendiri.
Intervensi Kolaborabsi:
Rujuk pasien atau orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan epilepsy dan sebagainya.
Berikan kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan dan ide-ide untuk mengatasi massalah dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.
Diskusikan rujukan kepada psikoterapi dengan pasien atau orang terdekat. Kejang mempunyai pengaruh yang besar pada harga diri seseorang dan pasien/ orang terdekat dapat merasa berdosa atas keterbatasan penerimaan terhadap dirinya dan stigma masyarakat. Konsling dapat membantu mengatasi perasaan terhadap diri sendiri.
DIAGNOSA KEPERAWATAN : Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan informasi pada klien/keluarga terhadap perubahan status kesehatan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, masalah klien teratasi dengan kriteria:
a. Klien/keluarga mengungkapkan pemahaman tentang gangguan dan berbagai rangsang yang dapat meningkatkan/berpotensial pada ativitas kejang.
b. Memulai perubahan perilaku/gaya hidup sesuai indikasi.
c. Mentaati aturan obat yang diresepkan.
Intervensi Rasionalisasi
Jelaskan kembali mengenai patofisiologi/prognosis penyakit dan perlunya pengobatan/penanganan dalam jangka waktu yang lama sesuai indikasi kepada klien dan orang tua/keluarga. Memberi kesempatan untuk mengklarifikasi kesalahan persepsi dan keadaan penyakit yang ada sebagai sesuatu yang dapat ditangani dalam cara hidup yang normal.
Tinjau kembali obat-obat yang didapat, penting sekali memakan obat sesuai petunjuk, dan tidak menghentikan pengobatan tanpa pengawasan dokter. Termasuk petunjuk untuk pengurangan dosis
Tidak adanya pemahaman terhadap obat-obat yang didapat merupakan penyebab dari kejang yang terus-menerus tanpa henti. Pasien perlu untuk mengetahui risiko timbulnya status epileptikus sebagai akibat dari menghentikan penggunaan obat antikonvulsan. Bergantung pada obat dan frekuensinya, pasien dapat diinstruksikan untuk menentukan dosis obat yang tepat.
Berikan petunjuk yang jelas pada pasien untuk minum obat bersamaan dengan waktu makan jika memungkinkan.
Dapat menurunkan iritasi lambung, mual/muntah.
Diskusikan mengenai efek samping secara khusus, seperti mengantuk, hiperaktif, gangguan tidur, hipertrofi pada gusi, gangguan penglihatan, mual/muntah, timbul ruam pada kulit, sinkope/ataksia, kelahiran yang terganggu dan anemia aplastik. Dapat mengindikasikan kebutuhan akan perubahan dalam dosis/obat pilihan yang lain, meningkatkan keterlibatan/partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan menyadari efek jangka panjang dari obat dan memberikan kesempatan untuk mengurangi/mencegah komplikasi.
Berikan informasi tentang interaksi obat yang potensial dan pentingnya untuk memberitahu pemberi perawatan yang lain dari pemberian obat terebut. Pengetahuan mengenai penggunaan obat antikonvulsan menurunkan risiko obat yang diresepkan yang dapat berinteraksi yang selanjutnya mengubah ambang kejang atau memiliki efek terapeutik, contoh; Dilantin mempunyai efek antikoagulasi dari Coumadin, sebaliknya INH dan kloromisetin meningkatkan efek dari dilantin.
Tekankan perlunya untuk melakukan evaluasi yang teratur/melakukan pemeriksaan laboratorium yang teratur sesuai dengan indikasi, seperti darah lengkap harus diperiksa minimal dua kali dalam satu tahun dan munculnya sakit tenggorok atau demam. Kebutuhan terapeutik dapat berubah dan efek samping obat yang serius (seperti agranulositosis atau tosisitas) dapat terjadi.
c. Intervensi berdasarkan diagnosa Arif Muttaqin (2008):
DIAGNOSA KEPERAWATAN : RESIKO CIDERA YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJANG BERULANG, KETIDAKTAHUAN TENTANG EPILEPSI DAN CARA PENANGANAN SAAT KEJANG, PENURUNAN TINGKAT KESADARAN
Tujuan : Klien bebas dari cidera yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran
Kriteria Hasil : Klien dan keluarga mengetahui pelaksanaan kejang, menghindari stimulus kejang, melakukan pengobatan teratur untuk menurunkan intensitas kejang.
Intervensi Rasional
Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga secara penanganan saat kejang Data dasar untuk intervensi selanjutnya.
Ajarkan klien dan keluarga tentang metode mengontrol demam. Orang tua dengan anak yang pernah mengalami kejang demam harus diinstruksikan tentang metode untuk mengontrol demam (kompres dingin, obat antipiretik).
Anjurkan untuk kontrol pasca cidera kepala. Cidera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah melalui program yang member keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cidera kepala.
Anjurkan keluarga agar mempersiapkan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang, papan pengaman, dan alat suction selalu berada dekat klien. Melindungi klien bila kejang terjadi.
Anjurkan untuk menghindari rangsangan cahaya yang berlebihan. Klien sering mengalami peka rangsang terhadap cahaya yang sangat silau.
Beberapa klien perlu menghindari stimulasi fotik (cahaya menyilaukan yang kelap-klip, menonton televise). Dengan menggunakan kaca mata hitam atau menutup slah satu mata dapat membantu mengontrol maslah ini.
Anjurkan mempertahankan tirah baring total selama fase akut. Mengurangi risiko jatuh/ terluka jika fertigo, sinkope, dan ataksia terjadi.
Kolaborasi pemberian terapi; fenitoin (Dilantin). Terapi medikasi untuk menurunkan respon kejang berulang.
DIAGNOSA : NYERI AKUT/ KRONIS
Tujuan : Melaporkan nyeri hilang/ terkontrol, Mengungkapkan metode yang memberikan penghilangan, Mendemonstrasikan penggunaan intervensi trapeutik (misalnya ketermpilan relaksasi, modifikasi perilaku) untuk menghilangkan nyeri.
Intervensi Rasional
Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lamanya serangan, factor pencetus/ yang memperberat. Minta pasien untuk menetapkan pada skala 0-10 Membantu menentukan pilihan intervensi dan memberikan dasar evaluasi terhadap terapi.
Pertahankan tirah baring selama fase akut. Letakkan pasien pada posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi: posisi terlentang dengan atau tanpa meninggikan kepala 10-30o atau pada posisi lateral. Tirah baring dalam posisi yang nyaman memungkinkan pasien untuk menurunkan spasme otot, menurunkan penekanan pada bagian tubuh tertentu dan memfasilitasi terjadinya reduksi dari tonjolan diskus.
Gunakan logroll (papan) selama melakukan perubahan posisi. Menurunkan fleksi, perputaran, desakan pada daerah belakang tubuh.
Bantu pemasangan brace/ korset. Berguna selama fase akut dari rupture diskus untuk memberikan sokongan dan membatasi fleksi/ terplintir. Pengunaan dalam jangka panjang dapat menambah kelemahan otot dan lebih lanjut menyababkan degeneratif.
Batasi aktivitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan. Menurunkan gaya gravitasi dan gerak yang dpat menghilangkan spasme otot dan menurunkan edema dan tekanan pada struktur sekitar diskus intervetebralis yang terkena.
Letakkan semua kebutuhan, termasuk bel panggil dalam batas yang mudah dijangkau/ diraih oleh pasien. Menurunkan resiko peregangan otot saat meraih.
Instruksikan pasien untuk melakukan teknik relaksasi/ visualisasi. Memfokuskan perhatian pasien, membantu menurunkan tegangan otot dan meningkatkan proses penyembuhan.
Instruksikan/ anjurkan untuk melakukan mekanika tubuh/ gerakan yang tepat. Menghilangkan atau mengurangi stress pada otot dan mencegah trauma lebih lanjut.
Berikan kesempatan untuk berbicara/ mendengar masalah pasien. Ventilasi rasa takut/ cemas dapat membantu untuk menurunkan factor-faktor stres selama dalam keadaan sakit dan dirawat. Kesempatan untuk memberikan informasi/ membetulkan informasi yang kurang tepat.
.Kolaborasi :
Berikan tempat tidur ortopedik atau letakkan papan dibawah kasur atau matras.
Memberikan sokongan dan menurunkan fleksi spinal, yang menurunkan spasme.
Berikan obat sesuai dengan kebutuhan :
Relaksan otot, seperti diazepam (Valium), karisoprodol (Soma), metkarbamol (Robaxin).
NSAID, seperti ibuprofen (Motrin, Advil), diflurisal (Dolobid), ketoprotein (Orudis), meklofenamat (Meclomen).
Analgetik, seperti asetaminofen (Tylenol) dengan kodein, meperidin (Demerol), hidrokodon (Vicodin), butorpanol (Stadol).
Merlaksasikan otot dan menurunkan nyeri
Menurunkan edema, tekanan pada akar saraf. Catatan : suntikan epidural atau gabungan obat antiinfalamasi dapat dicoba jika intervensi lain tidak mampu untuk menghilangkan nyeri.
Perlu untuk menghilangkan nyeri sedang sampai berat.
Pasang penyokong fisik seperti brace lumbal kolar servikal. Songkongan anatomis/ struktur berguna untuk meurunkan ketegangan/ spasme otot dan menurunkan nyeri.
Pertahankan traksi jika diperlukan. Pemindahan berat badan dari bagian diskus yang terkena, meningkatkan pemisahan interveterbral dan memungkinkan “lesatan diskus” tersebut untuk menggerakan saraf.
Konsultasikan dengan ahli terapi fisik. Program latihan/ peragangan yang spesifik dapat menghilangkan spasme otot dan menguatkan otot-otot punggung, ekstensor, abdomen, dan otot quadrisep untuk meningkatkan sokongan terhadap daerah lumbal.
Pasang/ pantau penggunaan kantong pendingin atau pelembab, diatermia, ultrasound. Meningkatkan sirkulasi pada daerah yang sakit, menghilangkan spasme, meningkatkan relaksasi pada pasien.
Berikan intervensi tertentu pada pasca-prosedur mielografi jika perlu, seperti jaga jangan sampai aliran cairan terlalu cepat, posisi tidur datar atau ditinggikan 30o sesuai indikasi selama beberapa jam. Menurunkan resijo terjadinya sakit/ kebocoran cairan spinal.
Bantu dengan/ persiapan untuk pemasangan TENS. Menurunkan stimulus dengan menghambat transmisi nyeri.
Rujuk ke klinik nyeri. Upaya tim yang terkordinasi meliputi baik terapi fisik maupun terapi psikologis dapat mengatasi semua aspek yang mugkin menyebabkan nyeri kronik dan memungkinkan pasien untuk meningkatkan kreativitas dan produktivitasnya.
DIAGNOSA KEPERAWATAN : KETAKUTAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEMUNGKINAN KEJANG BERULANG
Tujuan : Setelah intervensi ketakutan klien hilang/ berkurang.
Kriteria : Mengenai perasaanya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor yang mempengaruhinya dan menyatakan ketakutan berkurang/ hilang.
Intervensi Rasional
Bantu klien mengekspresikan perasaan takut. Ketakutan berkelanjutan memberikan dampak psikologis yang tidak baik.
Lakukan kerjasama dengan keluarga. Kerjasama klien dan keluarga sepenuhnya penting. Mereka harus yakin terhadap manfaat program yang ditetapkan. Harus ditekankan bahwa medikasi antikonvulsan yang diresepkan harus dikonsumsi secara terus-menerus dan bahwa ini bukan obat yang membentuk kebiasaan. Medikasi ini dapat dikonsumsi tanpa rasa takut tentang ketergantungan obat selama bertahun-tahun gunakan tanpa ketakutan akan ketergantungan obat untuk beberapa tahun jika obat-obatan tersebut diperlukan. Jika klien dibawah pengawasan perawatan kesehatan dan didampingi, maka klien melakukan instruksi dengan taat.
Hindari konfrontasi. Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerjasama, dan mungkin memperlambat penyembuhan.
Ajarkan kontrok kejang. Kontrol kejang bergantung pada aspek pemahaman dan kerjasama klien. Gaya hidup dan lingkungan dikaji untuk mengidentifikasi factor-faktor yang dapat mencetuskan kejang : gangguan emosi, stressor lingkungan baru, onset menstruasi pada klien wanita, atau demam. Klien dianjurkan untuk mengikuti gaya hidup rutin regular dan sedang, diet (menghindari stimulant berlebihan), latihan dan isntirahat. Gangguan tidur dapat menurunkan ambang klien terhadap kejang. Aktivitas sedang adalah terapi yang baik, tetapi penggunaan energy yang berlebihan dapat dihindari.
Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat. Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
Kurangi stimulus ketegangan. Keadaan tegang (ansietas, frustasi) mengakibatkan kejang pada beberapa klien. Pengklafikasian penatalaksanaan stress akan bermanfaat. Oleh karena kejang diketahui oleh asupan alkohol, maka kebiasaan ini harus dihindari. Trapi paling efektif adalah mengikuti rencana pengobatan untuk menghindari stimuli yang mencetuskan kejang.
Tingkatkan kontrol sensasi klien. Kontrol sensasi klien (dan dalam menurunkan ketakutan) dengan cara memberikan informasi tentang keadaan klien, menekankan pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri) yang positif, membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan, serta memberikan respon balik yang positif.
Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan. Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan ansietasnya. Dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhwatiran yang tidak diekspresikan.
Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat. Memberi waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan cemas, dan perilaku adaptasi.
Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih klien melayani aktivitas dan pengalihan (misalnya membaca) akan menurunkan perasaan trisolasi.
DIAGNOSA KEPERAWATAN : KOPING, INDIVIDUAL TIDAK EFEKTIF/ KONFLIK KEPUTUSAN
Tujuan : Mengidentifikasi tingkahlaku koping yang tidak efektif dan konsekuensi, Menunjukan kewaspadaan dari koping pribadi/ kemampuan memecahkan masalah, Memenuhi kebutuhan psikologis yang ditunjukan dengan mengekspresikan perasaan yang sesuai, identifikasi pilihan dan penggunaan sumber-sumber, Membuat keputusan dan menunjukan kepuasan dengan pilihan yang diambil.
Intervensi Rasional
Mandiri :
Tinjau ulang patofisiologi yang mempengaruhi pasien dan luasnya perasaan yang tidak berdaya/ tanpa harapan/ kehilangan control terhadap kehidupan tingkat ansietas.
Indikator dari tingkat disekuilibrium dan kebutuhan akan intervensi untuk mencegah atau mengatasi krisis.
Tetapkan hubungan terapeutik perawat-pasien. Pasien mungkin akan leebih bebas dalam konteks hubungan ini untuk menunjukan perasaan tidak tertolong/ tanpa tenaga dan untuk mendiskusikan perubahan yang diperlukan dalam kehidupan pasien.
Catat ekspresi keragu-raguan, ketergantungan kepada orang lain dan ketidakmampuan untuk mengatasi AKS pribadi. Mungkin menunjukan kebutuhan bersabdar kepada orang lain untuk sementara waktu. Pengenalan awal dan intervensi dapat membantu pasien memperoleh kembali ekulibrium.
Kaji munculnya kemampuan koping positif, misalnya penggunaan teknik relaksasi keinginan untuk mengekspresikan perasaan. Jika individu memiliki kemampuan koping yang berhasil dilakukan pada waktu lampau, mungkina dapat digunakan sekarang untuk mengatasi tegangan dan memelihara rasa control individu.
Dorong pasien untuk berbicara mengenai apa yng terjadi saat ini dan apa yang telah terjadi untuk mengantisipasi perasaan tidak tertolong dan ansietas. Menyediakan petunjuk untuk membantu pasien dalam mengembangkan kemampuan koping dan memperbaiki ekuilibrium.
Perbaiki kesalahan konsep yang mungkin dimiliki pasien. Menyediakan informasi factual. Membantu mengidentifikasi dan membenarkan persepsi realita dan memungkinkan dimulainya usaha pemecahan masalah.
Sediakan lingkungan yang tenang dan tidak menstimulasi. Tentukan apa yang menjadi kebutuhan pasien, dan menyediakannya jika memungkinkan. Memberikan informasi yang sederhana namun factual mengenai apa yang dapat pasien harapkan dan ulangi sesuai kebutuhan. Menurunkan ansietas dan menyediakan control bagi pasien selama situasi krisis.
Ijinkan pasien untuk mandiri pada awla dengan melakukan kembali AKS mandiri bertahap, perawatan diri dan aktivitas lainnya. Buat kesempatan bagi pasien untuk membuat keputusan mengenai keperawatan jika memungkinkan, menerima pilihan untuk tidak melakukannya. Meningkatkan perasaan aman (pasien akan mengetahui bahwa perawat akan mengusahakan keamanan). Jika kontrol tercipta, pasien akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan koping adaptif/ kemampuan memecahkan masalah.
Terima ekspresi verbal rasa marah, buat batasan terhadap tingkah laku maladaptif. Menunjukan rasa marah adalah proses yang penting untuk resolusi rasa duka dan kehilangan. Meskipun demikian, pencegahan terhadap tindakan destruktif (seperti memisahkan diri dari orang lain) akan mempertahankan harga diri pasien.
Diskusikan perasaan menyalahkan diri sendiri/ proyeksi menyalahkan orang lain. Ketika mekanisme ini dilindungi pada waktu krisis, terdapat perasaan kounter-produktif dan intensifikasi dari perasaan tidak tertolong dan tanpa harapan.
Catat ekspresi ketidakmampuan untuk menemukan arti kehidupan/ lasan untuk hidup, perasaan sia-sia atau pengasingan terhadap Tuhan. Situasi krisis mungkin membangkitkan pertanyaan mengenai kepercayaan spiritual yang dapat mempengaruhi kemampuan untuk berhadapan dengan situasi sekarang dan rencana untuk masa depan.
Solusi pemecahan masalah untuk situasi sekarang. Berikan informasi/ dukungan dan memperkuat realita pada waktu pasien mulai bertanya; lihatlah apa yang terjadi. Membantu pasien/ orang terdekat untuk mengilhami solusi yang mungkin (memberikan pertimbangan pro dan kontra bagi setiap masalah) meningkatkan perasaan control diri/ harga diri.
Identifikasi tingkah laku penanggulangan yang baru, bahwa pasien menunjukan dan memperkuat adaptasi positif. Selama krisis koma, pasien mengembangkan cara baru dalam menghadapi masalah, yang dapat membantu resolusi situasi sekarang dan juga krisis di masa depan.
4. Implementasi
Implementasi dilakukan dengan menggunakan panduan yang sesuai dengan intervensi.
5. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan memperhatikan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel. Epilepsi juga merupakan gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi.
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir. Pengklasifikasian epilepsi atau kejang ada dua macam, yaitu epilepsi parsial dan epilepsi umum.
Banyak faktor yang dapat mencederai sel-sel, saraf otak atau lintasan komunikasi antar sel otak. Beberapa faktor risiko yang sudah diketahui antara lain: trauma kepala, demam tinggi, stroke, intoksikasi (termasuk obat-obatan tertentu), tumor otak, masalah kardiovaskuler tertentu, gangguan keseimbangan elektrolit, infeksi (ensefalitis, meningitis) dan infeksi parasit terutama cacing pita. Apabila diketahui penyebabnya maka disebut epilepsi simtomatik, sedangkan apabila penyebabnya tidak diketahui disebut epilepsi idiopatik.
Manifestasi Klinis kejang parsial dapat berkaitan dengan: Gerakan wajah atau menyeringai, Sentakan yang dimulai disalah satu bagian tubuh, yang dapat menyebar, Pengalaman sensorik berupa penglihatan, bau atau suara, Kesemutan, Perubahan tingkat kesadaran. Kejang umum dapat berkaitan dengan : Ketidaksadaran, biasanya ditandai dengan jatuh, kecuali pada masa kanak-kanak tidak ada kejang; Refleks pada lengan dan tungkai yang tidak terkontrol; Periode apnea yang singkat (henti nafas); Salivasi dan mulut berbusa; Menggigit lidah; Inkontinensia; Stadium postictal berupa stupor atau koma diikuti oleh kebingungan, sakit kepala dan keletihan; Prodroma dapat terjadi pada setiap jenis kejang. Prodroma adalah perasaan atau gejala tertentu yang dapat mendahului kejang selama beberapa jam atau beberapa hari; Aura dapat terjadi pada setiap jenis kejang. Aura adalah sensasi sensorik tertentu yang sering atau selalu timbul sesaat menjelang kejang
Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika penyebabnya adalah akibat gangguan metabolisme (hipoglikemia, hipokalsemia), perbaikan gangguan metabolisme ini biasanya akan ikut menghilangkan serangan itu. Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan mencegah serangan. Ada empat obat yang ternyata bermanfaat untuk ini: fenitoin (difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik. Kebanyakan pasien dapat dikontrol dengan salah satu dari obat tersebut di atas.
Diagnosa keperawatan menurut Cappernito:
1. Risiko Tinggi terhadap Inefektif Bersihan Jalan Napas yang berhubungan dengan relaksasi lidah dan refleks gangguan sekunder terhadap gangguan pada inervasi otot
2. Risiko Tinggi terhadap Isolasi Sosial yang berhubungan dengan takut merasa malu sekunder terhadap mengalami kejang di masyarakat
3. Risiko Tinggi Inefektif Penatalaksanaan Program Terapeutik yang berhubungan dengan insufisiensi pengetahuan tentang kondisi, obat, perawatan selama kejang, bahaya lingkungan, dan sumber komunitas
Diagnosa Keperawatan menurut Doengus:
1. Risiko tinggi terhadap trauma/kerusakan sel otak dan penghentian nafas berhubungan dengan kejang, kelemahan progresif cepat otot-otot pernafasan.
2. Risiko tinggi terhadap bersihan jalan nafas/pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, obstruksi trakeobronkial.
3. Harga diri/ identitas pribadi, gangguan berhubungan dengan sigma berkenaan dengan kondisi, persepsi tentang tidak terkontrol.
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan informasi pada klien/keluarga terhadap perubahan status kesehatan.
Diagnosa Keperawatan menurut Arif Muttaqin:
1. Risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara penanganan saat kejang, serta penurunan tingkat kesadaran.
2. Nyeri akut yang berhubungan dengan nyeri kepala sekunder respons pasca kejang (postikal).
3. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kebingungan, malas bangun sekunderrespons pasca kejang (postikal).
4. Ketakutan yang berhubungan dengan kejang berulang.
5. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan depresi akibat apilepsi.
B. Saran
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada umumnya dan mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui pengertian, tindakan penanganan awal, serta mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan epilepsi. Oleh karena penyandang epilepsi sering dihadapkan pada berbagai masalah psikososial yang menghambat kehidupan normal, maka seyogyanya kita memaklumi pasien dengan gangguan epilepsi dengan cara menghargai dan menjaga privasi klien tersebut. Hal itu dilaksanakan agar pasien tetap dapat bersosialisasi dengan masyarakat dan tidak akan menimbulkan masalah pasien yang menarik diri.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan (Diagnose Keperawatan Dan Masalah Kolaboratif. Edisi 2. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilynn, Mary Frances Moorhouse, Alice C. Geissler. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.Jakarta : EGC
Ginsberg, Lionel. 2008. Lecture Notes: Neurologi Ed.8. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit : Edisi 2. Jakarta : EGC.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2008. Buku Ajar Neurologis Klinis. Ed: Harsono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed.6. Jakarta: EGC.
Raharjo, Tri Budi. 2007. Faktor-Faktor Risiko Epilepsi Padas Anak Di Bawah Usia 6 Tahun. Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf. FK UNDIP, Semarang. [internet] http://eprints.undip.ac.id/18016/1/Tri_Budi_Raharjo.pdf diakses pada 22 Oktober 2014 pukul 18.30 WITA.
Sidharta, Priguna. 2008. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta: Dian Rakyat.
Sing Health. 2014. Epilepsi. [internet] https://www.singhealth.com.sg/PatientCare/Overseas-Referral/bh/Conditions/Pages/Epilepsy.aspx diakses pada 22 Oktober 2014 pukul 18.00 WITA.
Tarwoto, dkk. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan.Jakarta : Sagung Seto.
Yuliana. TT. Epilepsi. [internet] http://www.ekahospital.com/uploads/Epilepsi-Dr.-Yuliana.pdf diakses pada 22 Oktober 2014 pukul 18.00 WITA.
0 Response to "Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Epilepsi terbaru 2021"
Post a Comment